Saya tak pernah benar-benar percaya bahwa e-book atau buku digital akan menggantikan buku versi cetak.
Digitalisasi buku memang banyak membantu. Ia terutama mempermudah kita dalam mengakses buku, baik itu terbitan terbaru tapi terlanjur habis dibeli atau edisi lama yang susah ditemukan lagi. Dengan adanya e-book, kita akan terbantu untuk menelusuri kembali buku-buku itu.
Tetapi membaca e-book bukan tak ada masalahnya. Terutama terhadap mata kita. Saya hanya memiliki daya tahan untuk membaca buku-buku digital paling lama setengah jam. Selebihnya mata jadi perih. Dan kepala sakit.
Oleh karena itu, kendati penyuka esai-esai Goenawan Mohamad (GM), saya tak pernah bisa menuntaskan e-book kumpulan esainya yang tebal-tebal dan lebih dari 14 jilid itu—saya merasa harus membeli buku versi cetaknya. Mata saya tak tahan. Satu-satunya prestasi saya membaca e-book adalah ketika menuntaskan sekuel dari autobiografi Budiman Sudjatmiko Anak-Anak Revolusi. Itupun karena penasaran yang berkobar-kobar.
Dulu, selepas membaca edisi pertama Anak-Anak Revolusi dalam versi cetak, saya kesulitan menemukan lanjutan kisahnya itu. Maka jadilah e-book sebagai sasaran "pelarian". Buku tebal itu usai satu malam saya baca.
Hingga kini, kebiasaan untuk mengoleksi buku-buku versi cetak tetap susah untuk saya hindari. Saya merasa yang namanya buku itu adalah buku dalam versi cetak.
Maka, bila saban waktu saya memburu buku itu adalah biasa. Ia adalah upaya untuk terus menggenapi lemari buku yang ada di rumah. Terhadap buku-buku yang ada itu, saya yakin sekali, bila hari ini belum kita baca atau butuhkan, kelak esok akan kita cari.
Lebih dari itu, mengumpul sebanyak mungkin buku, bagi saya, tidak saja berarti itu adalah upaya untuk mengikat pengetahuan yang akan berguna bagi kehidupan ini, tetapi juga mewariskan satu tradisi yang positif bagi generasi selanjutnya.
(10 Januari 2025)
0 Viewers
0 Comments
Posting Komentar