Jika kita melewati hari-hari yang buruk sepanjang tahun 2024 kemarin, ingatlah bagaimana nasib orang-orang kiri jalan ini setelah peristiwa G30S/PKI.
Salah satu, yang kini tengah saya tamatkan adalah kisah tentang Njoto yang didedah dengan apik dalam buku Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara, Tempo: 2016.
Hingga desas-desus
hubungannya dengan Rita—perempuan Rusia yang diduga intelijen KGB—jelang
peristiwa G30S/PKI, yang itu membuat murka Aidit, kiprah Njoto kian tenggelam.
Puncaknya, pada peristiwa G30S/PKI, Njoto tak terlibat (atau dilibatkan) sama
sekali dalam penyusunan rencana itu.
Sejarah mencatat, akibat
peristiwa itu Njoto tidak saja dilucuti dari jabatannya sebagai Wakil Ketua II
Central Committee (CC) PKI, dibuatnya media agitasi dan propaganda baru partai
yang bernama Kebudajaan Baru sebagai
tandingan terhadap media yang dipimpin Njoto, yakni Harian Rakjat, tetapi juga sekaligus menandai babak baru hubungan
Njoto dan Aidit. Sejak peristiwa itu hubungan keduanya menjadi renggang—juga
memanas.
Ada dugaan lain yang
berkembang, bahwa kemarahan Aidit kepada Njoto tidak saja berkaitan dengan
desas-desus soal Rita, tapi juga karena Njoto dianggap lebih dekat dengan Soekarno.
Hubungan Soekarno dan Njoto dalam pandangan kawan-kawannya di partai lebih dari
sekadar perkawanan (kakak-adik). Hubungan mereka dipertautkan oleh kesamaan
ideologis atau cara pandang. “Bung Karno merasa pemikirannya cocok dengan
Njoto,” kata Joesoef Isak, sahabat Njoto sekaligus teman dekat Bung Karno.1
Bahkan Njotolah orang
yang pertama kali menabalkan istilah “Soekarnoisme”—sebutan untuk mewakili
cara pandang, pemikiran, atau ideologi yang merujuk kepada Soekarno. Istilah
ini pertama kali disampaikan Njoto dalam sebuah pidato di Palembang pada
April 1964.
Sebuah sumber yang tak
disebutkan identitasnya oleh Tempo,
menggambarkan bagaimana kedekatan antara Soekarno dan Njoto pada momen-momen
tertentu. “Dik Njoto—panggilan intim Soekarno terhadap Njoto—naik panggung dan
siap menyumbangkan suara, Bung Karno menghampiri lalu merapikan kerah jas Njoto
yang terlipat. Seperti itulah hubungan mereka, dekat sekali.”2
Selain cara pandang, Soekarno
dan Njoto juga memiliki kesamaan dalam beberapa hal lain: orator yang ulung,
dan hobi menari dan bernyanyi.
Akibat dianggap terlalu
dekat secara ideologis dengan Soekarno, Njoto mengalami defisit kepercayaan
dari kawan-kawannya di partai. Ia bahkan dianggap berkhianat terhadap partai
dan ideologi partai. Marxisme-Leninisme yang menjadi ideologi partai—sedekat
apapun irisannya—tetap dianggap berbeda dengan Soekarnoisme. Inilah yang
menyebabkan kian hari Njoto kian tersisih dari lingkungan pergaulan
kawan-kawannya, kendatipun dalam rapat-rapat formal partai Njoto terlihat tetap
(atau selalu) hadir.
***
Walau boleh dibilang tidak
terlibat sama sekali dalam peristiwa G30S/PKI, tetapi aksi “pembersihan”
terhadap semua anasir PKI yang dilakukan oleh tentara, menjadikan Njoto dan
keluarganya turut menjadi “korban”. Pasca terjadinya peristiwa G30S/PKI nasib
keluarga ini berujung tragis: tercerai-berai, ditahan dan hidup dalam ketakutan selama bertahun-tahun, dan Njoto sendiri, bahkan, hingga kini tak tahu di mana
terkubur.
Njoto pada saat peristiwa
G30S/PKI sebenarnya tidak berada di Jakarta. Ia lagi di Sumatera bersama
rombongan Wakil Perdana Menteri I, Soebandrio. Njoto bersama rombongan
meninggalkan Jakarta sejak 28 September 1965 dan baru kembali pada 2 Oktober
1965.
Ketika mendengar
peristiwa G30S/PKI Njoto tentu saja kaget. Maklum saja, waktu itu media
informasi dan komunikasi belum secepat sekarang sehingga peristiwa yang terjadi
di suatu tempat baru bisa diketahui oleh publik luas berminggu-minggu, atau
bahkan berbulan-bulan kemudian. Ketika sampai di Jakarta, tindakan pertama yang
dilakukan Njoto adalah menyelamatkan keluarganya. Istri beserta anak-anaknya,
ia ungsikan di rumah sahabatnya. Adapun Njoto tetap beraktivitas seperti
sediakala.
Njoto, yang saat itu juga
diberi amanah oleh Presiden Soekarno untuk menjadi Menteri Negara dalam Kabinet
Dwikora, bahkan masih terlihat pada rapat di Istana Bogor pada 6 Oktober 1965—hampir
sepekan setelah peristiwa G30S/PKI. Dalam rapat itu Njoto bersikukuh: PKI tidak
bertanggung jawab atas peristiwa yang merenggut nyawa sejumlah jenderal Angkatan
Darat itu.
Svetlana Dayani, anak
sulung Njoto, mengungkapkan tak tahu persis bagaimana nasib ayahnya pasca
peristiwa G30S/PKI. Yang ia tahu adalah: Suatu malam ayahnya menjenguk mereka
ketika sedang mengungsi di Asrama Central Gerakan Mahasiswa Indonesia, Jalan
Gunung Sahari. Itu diperkirakan akhir tahun 1965.
"Bapak nggak ketemu lagi, bapak saya
nggak pernah ketemu lagi. Saya nggak pernah ketemu lagi, terakhir ketemu di
Gunung Sahari itu sempat nengok malam-malam sekali udah. Setelah itu saya nggak
pernah tahu lagi bapak lagi," ungkap Svetlana.3
Memang, misteri hilangnya Njoto hingga kini menyisakan lubang yang
besar. Ada banyak informasi yang beredar, tetapi semuanya serba kabur. Ada yang
menyatakan Njoto ditangkap setelah menghadiri rapat pada 6 Oktober 1965 itu.
Dikisahkan, mobil Njoto diadang di tengah jalan oleh sekumpulan tentara. Njoto
kemudian dibawa pergi, entah kemana. Ada pula yang menyatakan Njoto ditahan
setelah menemui Soebandrio.
Tetapi, versi yang lebih meyakinkan adalah Njoto ditangkap dalam
perjalanan dari kantor Kementerian Negara. Ini yang diyakini anak-anaknya.
Anak-anak Njoto yakin betul Njoto ditangkap pada Desember 1965 karena ia masih
sempat menemui mereka di bulan itu.
Amarzan Loebis—kawan Njoto di Harian
Rakjat—mengungkapkan: “Mobilnya disalip, lalu dicegat. Dia dikeluarkan,
dipukul, kacamatanya jatuh.” 4 Itu yang Amarzan dengar berkaitan
dengan nasib akhir Njoto.
Sementara itu, istri dan anak-anak Njoto mengalami nasib yang tidak
kalah berbeda. Istri Njoto lebih kurang 11 tahun mendekam dalam penjara. Itu tidak
sekaligus. Ia keluar masuk. Ditahan beberapa saat lalu dibebaskan lagi. Begitu
berulang selama beberapa kali. Dan sialnya, mereka ditahan tanpa proses
peradilan sama sekali. Jika ada peristiwa yang menjadi pemicu, maka tidak
segan-segan aparat menjemput mereka untuk kemudian dijebloskan ke dalam
penjara. Tahun 1966 ketika pertama kali ditahan, istri Njoto bahkan diangkut
bersama anak-anaknya. Mereka juga ikut ditahan.
Stevlana Dayani dalam wawancara dengan www.suara.com (30/9/2021), menyatakan
masih mengingat persis masa-masa kelam itu. Hanya ia tak tahu apa yang menjadi
latar masalah yang menimpa keluarganya. Ia baru mengetahuinya setelah di SMP,
saat mendapati foto ayahnya bersama Aidit dan M.H. Lukman terpampang di buku
pelajaran. Di situ tertulis “gembong PKI”. Dari situ Stevlana, pelan-pelan
mulai memahami peristiwa G30S/PKI.
Tetapi dari semua itu, yang paling sulit dirasakan Stevlana adalah
ketika harus menyembunyikan identitas selama bertahun-tahun. Ia bahkan harus
menggunakan nama samaran. Mafhum, pada namanya melekat kata “Stevlana”
yang itu amat berbau Rusia. Ia dilarang ibunya menggunakan nama itu karena akan
memudahkan orang untuk mengidentifikasi keluarga dan latar belakang mereka.
***
Tak mudah membayangkan situasi yang melingkupi Njoto di masa-masa pasca
peristiwa G30S/PKI hingga kemudian ia di”eksekusi”. Sebagai eks pimpinan partai
yang dituding menjadi dalang dalam pembunuhan sejumlah jenderal Angkatan Darat
itu, Njoto tetap harus menerima konsekuensi yang ditimbulkannya.
Resiko kematian tentu sudah dihitung oleh Njoto. Hari-hari pasca
peristiwa G30S/PKI adalah pasti menjadi hari-hari yang gelap bagi Njoto. Juga menakutkan.
Tidak ada situasi yang pasti. Semua diliputi oleh rasa cemas. Bahkan terhadap
Presiden Soekarno sekalipun, yang dalam kalkulasi banyak pihak kala itu amat
dekat dengan PKI. Ada kemungkinan peristiwa itu tidak berdampak luas dan
menyeret mereka (para aktivis PKI) ke jurang kematian, tetapi itu sangat kecil.
Karena mustahil tentara—juga kelompok-kelompok anti-PKI—tinggal diam.
Juga yang tak boleh diabaikan adalah bagaimana sikap Njoto terhadap
peristiwa G30S/PKI. Dari pengakuan sejumlah kawan dekat Njoto, Njoto
mempertanyakan dasar logika dari gerakan yang digawangi oleh Aidit itu. Dalam pandangan
Njoto, apa yang dilakukan oleh Aidit, dkk itu tidak mempertimbangkan situasi
objektif bangsa dan kondisi partai—dalam hal ini kekuatan internal partai yang bisa
diharap mem-back up gerakan jika
sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. G30S/PKI tidak dilakukan dengan
pertimbangan yang matang, kata Njoto.
Tetapi, sebagaimana yang kita saksikan, sejarah kemudian berkehendak
lain. Sebesar apapun keberatan yang diajukan Njoto kepada kawan-kawannya di PKI,
itu pada akhirnya tetap tak mengubah situasi apapun. Njoto tetap turut disapu
habis.
Ia ikut digulung oleh gelombang “pembersihan anasir PKI” bersama
kawan-kawannya yang lain.
(11 Januari 2025)
1 Arif Zulkifli, dkk, 2016. Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara, Tempo, hlm. 36.
2 Ibid, hlm. 38.
3 http://www.suara.com, 30 September 2021.
4 Arif Zulkifli, dkk, 2016. Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara, Tempo, hlm. 56.
0 Comments
Posting Komentar