Di balik puja-puji tentang kemakmuran, ada harga yang harus kita bayar mahal.

Jepang dan China dikabarkan mengalami resesi seks. Institusi rumah tangga, yang selama ini dibangun melalui pintu bernama pernikahan, kian ditanggalkan. Penduduk Jepang dan China, kini banyak memilih untuk tidak menikah. Dan kalaupun menikah, tak sudi berketurunan (childfree).

Di sini, fungsi pernikahan sebagai kawah prokreasi (melanjutkan keturunan) macet. Relasi antara laki-laki dan perempuan berhenti sekadar sebagai sarana rekreasi. Fantasi seksual dan persetubuhan semata.

Dalam skala panjang, gejala ini tentu saja berdampak pada terjadinya apa yang kita sebut sebagai depopulasi. Punahnya penduduk yang mendiami dua negara tersebut. Dan boleh jadi, itu juga akan menjalar ke negara-negara lain.

Di Jepang, di tahun 2023 ini, tercatat ada sembilan juta rumah yang tak berpenghuni lagi. Rumah-rumah itu, karena tak memiliki pelanjut (ahli waris), kemudian diambil alih oleh negara. Secara statistik, jika dikalikan dengan jumlah keluarga inti sebanyak empat orang (terdiri dari ayah, ibu dan dua orang anak), maka bisa didapat berapa penurunan populasi penduduk di negara itu. Angkanya bisa mencapai kisaran 36 juta jiwa.

Di China, pemerintah mengakui mengalami pertumbuhan populasi penduduk negatif paling tinggi terhitung sejak tahun 1961. Ikhtiar pemerintah untuk memberikan insentif bagi pasangan yang mau memiliki anak lebih dari dua, bahkan mengalami hambatan. Sebagian besar warga menolak anjuran pemerintah itu. Tak mau terbebani oleh jumlah anak yang banyak menjadi alasan utama mereka.   

***

Apa yang terjadi di Jepang dan China, menunjukkan bagaimana kapitalisme yang kita supremasi tidak melulu menawarkan janji kemakmuran. Kapitalisme juga mengandung bahaya, yang itu jika tidak direspons dengan benar, bisa meluluh-lantakkan tatanan kehidupan sosial kita. Salah satunya keluarga, sebagaimana yang terjadi di Jepang dan China di atas. Keluarga sebagai pranata sosial; basis pertahanan terakhir sekaligus tonggak pembentuk peradaban bisa hancur berkeping-keping.  

Kita tahu persis, Jepang adalah salah satu negara di Asia yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang paling mengagumkan di dunia, terutama beberapa tahun terakhir ini. Ia bersaing dengan sejumlah negara maju lainnya di Eropa dan Amerika. Sementara China, kendatipun hingga kini tetap men-declare diri sebagai negara sosialis, kian tidak tahan dengan gempuran kapitalisme. China kini menjelma negara adidaya dengan kemajuan ekonomi yang sangat pesat.       

Tetapi di balik pesatnya kemajuan yang dicapai oleh dua negara tersebut; di balik gempita kemakmuran yang mengundang decak-kagum, ada lubang masalah yang menganga lebar. Para cerdik-cendekia menyebutnya sebagai paradoks kapitalisme. Kapitalisme kata mereka, harus diakui, di satu sisi telah membawa kita pada satu tahap kemajuan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, tetapi di sisi lain menimbulkan nestapa pada banyak manusia.

Modernitas sebagai ciri masyarakat kapitalistik, telah mencipta banyak manusia-mesin. Manusia-manusia dengan tingkat kemakmuran yang tiada berbilang, tetapi selalu diliputi oleh kemuraman. Berlimpah secara ekonomi tapi tak bahagia. Kata Sayyed Hossein Nasr, manusia-manusia modern adalah manusia-manusia yang tercerabut dari akar kemanusiaannya. Maju tapi kehilangan orientasi akan hidup.

Di Jepang, China, dan Korea Selatan (dan tentu juga di sejumlah negara Barat lainnya) saban Minggu kita akan menemukan orang-orang yang mabuk di pinggir jalan, terhuyung-huyung keluar dari bar dan diskotik. Selama enam hari mereka bekerja untuk mengumpul uang tetapi karena beban kerja yang tinggi, akhirnya kemudian mengalami depresi, stres, dan lain sebagainya. Walhasil, mabuk-mabukan atau tempat hiburan malam menjadi solusinya di hari libur (weekend). Mereka bekerja keras untuk mendapatkan uang, tetapi uang yang ada juga habis digunakan untuk mengusir depresi akibat beban kerja.

Pun demikian dengan angka bunuh diri. Di sejumlah negara maju, angkanya terus melonjak drastis dari tahun ke tahun. Di tengah imaji para saintis yang terus membusung: bahwa kelak nanti, melalui suatu rekayasa bio-teknologi mereka bisa membuat manusia hidup abadi—atau minimal memperpanjang usia dan harapan hidup—tingginya angka bunuh diri itu seolah-olah datang menampar.

Sebuah ironi.     

A.M. Saefuddin, et al. dalam “Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi” menyebut setidaknya ada tiga dampak yang ditimbulkan oleh modernisme. Satu, dehumanisasi, tercerabutnya akar kemanusiaan dari diri manusia—sama persis dengan apa yang diutarakan Sayyed Hossein Nasr. Marx menyebutnya sebagai kondisi teralienasinya manusia dari dirinya yang hakiki.

Manusia modern adalah manusia yang kesepian. Manusia yang tak mengenal dirinya. Di tengah-tengah gedung pencakar langit, di antara hiruk-pikuk kehidupan kota, dan di tengah lautan manusia lain, ia tak lebih dari seonggok makhluk yang muram.

Sehingga, jangankan berpikir untuk menikah, menemu-kenali dirinya saja tak bisa. Yang tumbuh adalah individualisme—kecenderungan untuk memperhamba pada diri sendiri. Atau (boleh jadi) gamophobia: ketakutan untuk membangun komitmen berumah tangga. Kalaupun mau berumah tangga, yang terjalin adalah relasi yang mekanistik, an sich biologis, dan tuna-makna.  

Kedua, desakralisasi. Hilangnya Tuhan dan segala sublimitas dari kehidupan manusia. Semua berganti menjadi yang profan. Tak ada akhirat. Dan dunia adalah segalanya. Dalam konteks ini, sekularisme mengambil peran. Sekularisme bertugas untuk menyingkirkan agama dari kehidupan manusia. Kemajuan berarti adalah kehidupan tanpa agama.

Akibatnya apa? Institusi rumah tangga tak dianggap sebagai penubuhan dari ajaran Tuhan. Pernikahan tak dianggap sebagai risalah sosial, yang di dalamnya terdapat misi untuk melahirkan generasi-pelanjut yang diharapkan akan (bahu membahu) menegakkan kehidupan yang penuh dengan kebajikan.

Dan ketiga, denaturalisasi. Denaturalisasi adalah dampak modernisme terhadap lingkungan ekologis kita. Dalam banyak kasus, para cerdik-cendekia telah mengutarakan bagaimana modernisasi yang dipancangkan oleh Barat kemudian merusak tatanan ekologis kita.

***

Demikianlah kapitalisme yang kita khawatirkan hari-hari ini. Di tengah-tengah ragam kemajuan yang kita nikmati, ia juga menebar ancaman di masa yang akan datang.

Hari ini, mungkin, baru memporak-porandakan pranata sosial bernama keluarga itu. Juga baru menghajar Jepang dan China.

Tapi esok kita tidak tahu, mungkin, ia akan menghajar sendi-sendi kehidupan yang lainnya lagi. Juga, mungkin, tak hanya di Jepang dan China.

Boleh jadi, itu di negara kita. Keluarga kita. Atau kita sendiri.   

(10 Februari 2023)  

0 Viewers