April 2016, ketika menemukan lembar-lembar “Seteru 1 Guru:
Novel Pergulatan 3 Murid Tjokroaminoto” di pojok salah satu toko buku di
Palu, saya kemudian menamatkannya dalam sehari-semalam. Saat itu, saya juga sempat
membuat reviu-singkat terhadap novel-sejarah tersebut. Sayang, karena hanya
digoreskan melalui handphone, dan juga deraan kesibukan yang terus
menghalangi, maka catatan tersebut tidak cukup lengkap untuk memotret semua
sisi menarik dari novel itu.
Kemarin, saya berkesempatan untuk menghidunya kembali. Telah lama
memang saya mematri dalam hati: kiranya memiliki waktu yang cukup untuk membaca
dan menulis-ulang reviu terhadap novel itu.
Novel buah-tangan Haris Priyatna tersebut sebenarnya berkisah
tentang tiga orang sekawan yang dibesarkan di atap yang sama, yakni rumah
pengetahuan Tjokroaminoto. Mereka menjalani masa tumbuh-kembang bersama,
bersekolah, menimba ilmu dari guru yang sama: Tjokroaminoto, hingga kemudian berseteru
(melarung hidup secara berbeda), dan saling menarik bedil. Saling berbunuhan.
Mereka adalah Soekarno, Musso, dan Kartosoewirjo.
***
Tahun 1915, dengan diantar oleh Susilo—rekan sesama guru di
sekolah Raden Soekemi
Sosrodihardjo (ayah Soekarno)—Soekarno menginjakkan kaki di Jalan Peneleh VII,
Surabaya. Langkah Soekarno tertuju pada rumah H.O.S. Tjokroaminoto, kawan
ayahnya ketika dahulu berada di Surabaya. Kala itu, Tjokroaminoto telah menjadi
Ketua Sarekat Islam (SI)—sebuah organisasi perjuangan kaum pribumi pertama di
Indonesia, sementara ayah Soekarno adalah seorang guru di Mojokerto.
Niat
Soekarno menginjakkan kaki di rumah Tjokroaminoto adalah untuk melanjutkan
studi. Ia hendak bersekolah di Hoogere
Burgerschool (HBS)
Surabaya—setingkat SMA zaman sekarang. Pada kunjungan Tjokroaminoto sebelumnya
ke Mojokerto, ketika menginap di rumah Raden Soekemi Sosrodihardjo, ayah Soekarno ini telah
menitipkan anaknya pada Tjokroaminoto. Ia meminta Tjokroaminoto untuk mendidik
Soekarno sekaligus meminta izin agar bisa menumpang mukim di rumahnya.
Hari pertama
menjejak di Jalan Peneleh VII, mula-mula Soekarno bersua Hermen Kartowisastro. Hermen adalah teman sebaya Soekarno waktu di
Mojokerto. Hermen telah lebih dahulu merantau ke Surabaya dan menghuni rumah
Tjokroaminoto. Dari Hermen, Soekarno kemudian bisa mengenal penghuni rumah
Tjokroaminoto lainnya. Sebelum Soekarno datang, di situ telah ada, antara lain:
Semaoen, Musso, dan Abikoesno (Tjokrosoejoso)—adik Tjokroaminoto.
Saat itu,
Musso adalah siswa paling senior di rumah Tjokroaminoto. Ia juga bersekolah di
tempat yang sama dengan Soekarno. Usia mereka terpaut 4 tahun. Musso lahir
tahun 1897 dan Soekarno tahun 1901. Sementara, Semaoen telah bekerja. Ia
menjadi juru tulis di stasiun kereta api di Surabaya. Semaoen tak sempat
melanjutkan sekolah sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Ia terhenti pada
tingkat Sekolah Dasar (Hollandsch Lagere School) saja. Tapi ada juga
riwayat lain yang menyatakan bahwa Semaoen berhasil meraih ijazah “Komis C” (suatu
ijazah yang pada saat itu dianggap setingkat dengan ijazah HBS).
Adapun
Kartosoewirjo menempati rumah Tjokroaminoto lebih belakangan lagi. Ia menghuni
kamar yang ditinggalkan Semaoen, setelah Semaoen diterima bekerja di surat
kabar De Volhading di Semarang. Usia Kartosoewirjo terpaut lebih muda 4
tahun dari Soekarno. Sama dengan selisih usia Musso dan Soekarno. Ia lahir
tahun 1905. Kartosoewirjo datang ke Surabaya dengan niat melanjutkan pendidikan
di Nederlands Indische Artsen School (NIAS)—semacam sekolah kedokteran
di zaman sekarang.
Dalam
catatan saya, ada dua peristiwa penting yang menandai begitu eratnya temali
persahabatan—bahkan persaudaraan—antara Soekarno, Musso, dan Kartosoewirjo.
Peristiwa pertama adalah ketika awal Soekarno bersekolah di HBS. Peristiwa itu
diceritakan dengan sangat baik oleh Haris Priyatna dalam novel ini. Tulis Haris
Priyatna, pernah sekali Soekarno diganggu oleh seorang siswa berkebangsaan
Belanda. HBS memang adalah sekolah elit yang dikhususkan bagi anak-anak
berkebangsaan Belanda. Sehingga wajar jika mereka begitu superior. Tidak banyak
anak-anak pribumi yang bisa bersekolah di situ.
Siswa
yang mengganggu Soekarno itu bernama Hans. Soekarno sering dicegat di halaman
sekolah. Ini membuat Soekarno melawan, dan terjadilah pertengkaran antara
mereka. Di hadapan siswa yang lain, mereka adu pukul. Musso yang kemudian
mengetahui peristiwa itu, tersulut emosi. Melalui salah seorang siswa, Musso
beroleh informasi bahwa pelakunya adalah Hans.
Besok
harinya, Musso mencari Hans. Saat lonceng istirahat berdentang, Musso menguntit
Hans yang tengah melangkah ke toilet. Di pintu toilet, Musso menepuk pundak
Hans:
“Hai tonggos! Kau belum tahu, ya … Soekarno
itu adikku.
Oh, ya? Lantas?
Kalau kau macam-macam dengan dia, sama
saja cari perkara denganku! Gertak
Musso seraya mendorong Hans sampai terjerembap ke WC.
Kau ingat itu ya, imperalis kecil! Ini
Munawar Musso, jagoan dari Peneleh!” (hal.
91)
Sementara
peristiwa kedua adalah antara Soekarno dan Kartosoewirjo. Soekarno sangat mengimpikan
sepeda Fongers. Setelah cukup lama menabung, ia kemudian bisa membelinya. Naas,
suatu ketika, tanpa diketahui Soekarno, sepeda itu dipakai oleh Harsono—anak
Tjokroaminoto yang masih berusia 7 tahun. Dan tanpa disengaja sepeda itu menabrak
pohon. Bagian depannya hancur. Akibatnya, sepeda itu tak dapat digunakan lagi.
Berminggu-minggu
Soekarno dirundung sedih. Ia benar-benar kehilangan sepeda kebanggaannya.
Sepeda, yang karenanya, Soekarno merasa gampang untuk keliling kota dan mendekati
gadis-gadis Belanda yang digandrunginya. Kartosoewirjo yang melihat Soekarno
sedih berusaha untuk menghibur. Tapi sekuat ia menghibur, sekuat itu pula
Soekarno didera kesedihan.
Suatu hari
ayah Kartosoewirjo yang berprofesi sebagai mantri candu mengirim uang untuk
Kartosoewirjo. Uang yang dikirim jumlahnya cukup banyak. Itu karena, memang
saat itu harga candu lagi melonjak. Berbekal uang dari ayahnya itu, Kartosoewirjo
kemudian membelikan Soekarno sepeda pengganti.
“Maridjan
[kemudian] mengajak Soekarno ke kota, membeli sepeda lagi. Kali ini, mereka
ambil dua Fongers sekaligus: satu untuk Soekarno dan satu untuk Maridjan,” tulis Haris Priyatna (hal. 125).
***
Tahun 1948,
meletus pemberontakan Madiun. Insiden ini kemudian dikenal sebagai Peristiwa
Madiun 1948. Pemberontakan ini digerakkan oleh sejumlah tokoh pergerakan
berhaluan kiri dan massa rakyat, dengan Musso sebagai pimpinannya.
Musso menuding
bahwa pemerintahan Republik Indonesia yang baru saja didirikan tidak berjalan
sesuai dengan kehendak rakyat. Sebagai pengagum Uni Soviet, Musso menganggap Soekarno dan Hatta, yang kala itu telah menjadi
Presiden dan Wakil Presiden, lebih tunduk pada negara kapitalis-imperialis
semacam Amerika dan sekutunya. Padahal kata Musso, Soekarno dengan gagah pernah
menyatakan, “Inggris kita linggis, Amerika kita setrika”. Di tangan
Soekarno-Hatta, kebijakan ekonomi dijalankan tidak untuk kepentingan rakyat
banyak, melainkan untuk segelintir orang saja. Indonesia tidak ubahnya seperti
di masa penjajahan Belanda dan Jepang.
Di samping
itu, tergulingnya kabinet Amir Sjarifuddin pasca ditanda-tanganinya Perjanjian
Renville dan kebijakan reorganisasi dan rasionalisasi tentara (Re-Ra) oleh
Kabinet Hatta yang berdampak pada terlucutinya banyak tentara, turut menjadi
pemicu meledaknya gelombang pemberontakan itu.
Amir yang
tidak menjabat Perdana Menteri lagi kemudian membentuk Front Demokrasi Rakyat
(FDR). Di FDR, Amir bertemu Musso—yang tengah mengonsolidasi-kembali kekuatan Partai
Komunis Indonesia (PKI)—dan sejumlah tokoh pergerakan lainnya yang tergabung dalam
Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dan Barisan Tani Indonesia (BTI). Di sini aliansi
Amir dan Musso bertemu. Musso yang saat itu baru saja pulang dari Moskow lantas
menawarkan sebuah konsep yang lebih maju tentang perjuangan. Konsep itu ia sebut
sebagai “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”.
Dan puncaknya,
pada tanggal 18 September, tanggal yang paling bersejarah bagi Musso dan
kawan-kawannya, sebuah pemerintahan baru yang diimpikan oleh Musso, yakni Republik
Soviet Indonesia, kemudian dikumandangkan. Musso menjadi Presidennya dan Amir
Sjarifuddin sebagai Perdana Menteri. Aksi ini kemudian dilanjutkan oleh Musso
dan kawan-kawannya dengan menyerang sejumlah titik strategis di Madiun. Tujuannya
untuk merebut Madiun sebagai pusat pemerintahan Republik Soviet Indonesia. Sejumlah
pasukan yang dikomandoi Soemarsono—yang juga dipecat oleh Hatta dari militer—dikerahkan
untuk menyerang Pasukan Siliwangi, tentara milik Republik Indonesia.
Aksi ini
terus terjadi. Perang berkobar di mana-mana. Sejumlah orang terbunuh. Mereka
saling menumpas. Juga tak ternilai fasilitas yang rusak akibat insiden itu.
Di Yogyakarta, Soekarno yang mendapatkan laporan perihal peristiwa Madiun yang dilakukan oleh Musso dan kawan-kawan itu, kemudian bereaksi. Ia memanggil Mayor Jenderal A.H. Nasution. Dan, melalui sebuah sidang kabinet yang dihadiri, antara lain, oleh: Panglima Besar Jenderal Soedirman, Menteri Koordinator Keamanan (Sri Sultan Hamengkubuwono IX), Menteri Luar Negeri (Haji Agus Salim), Sekretaris Negara (Pringgodigdo), dan lain-lain, diputuskanlah sebuah rencana militer untuk menumpas Musso dan kawan-kawannya yang terlibat dalam Peristiwa Madiun.
Tanggal
31 Oktober 1948, setelah melalui serangkaian aksi kejar-kejaran dan tembak-menembak,
Musso, kakak sekaligus guru politik Soekarno itu, akhirnya terbunuh. Ia tertembak
mati oleh Pasukan Siliwangi di Desa Semanding, Ponorogo. Musso, kakak yang
dipanggil Soekarno dengan sebutan Mas Musso; satu-satunya kakak yang tampil
membela Soekarno saat dijahili Hans (anak Belanda itu) ketika bersekolah; kakak yang
menjadi panutan dan selalu mengulur kasih buat Soekarno itu, meninggalkan Soekarno
untuk selama-lamanya.
Ia pergi
tanpa sempat melambaikan tangan pada Soekarno. Ia pergi dengan berpeluh darah.
Sementara
itu, di Jawa Barat, dengan amarah yang serupa, Kartosoewirjo menggalang
perlawanan terhadap pemerintahan Soekarno-Hatta. Bermula dari tidak dimasukkannya
Jawa Barat sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia pada Perjanjian
Renville, Kartosoewirjo mengangkat senjata. Ia meradang terhadap cara Soekarno-Hatta
memimpin negara-bangsa. Soekarno-Hatta dianggap terlalu lembek terhadap Belanda.
Di samping
itu, memang telah lama Kartosoewirjo mengimpikan berdirinya negara-bangsa yang
berlandaskan pada syariat Islam. Ini bisa dirunut panjang ke belakang. Kartosoewirjo
adalah sosok yang paling lama mendampingi Tjokroaminoto. Ia bahkan menjadi
sekretaris pribadi pemimpin Sarekat Islam itu. Pada Tjokroaminoto, Kartosoewirjo
mendapat pembelajaran penting tentang nilai-nilai keislaman. Itu terus
mengental dalam diri Kartosoewirjo, bahkan hingga ia tutup usia.
Pada tanggal
7 Agustus 1949, Kartosoewirjo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia
(NII). Melalui gerakan yang disebut sebagai Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
(DI/TII), Kartosoewirjo melancarkan serangan terhadap kedaulatan pemerintahan Republik
Indonesia. Tentara Islam Indonesia (TII) itu sendiri dibentuk oleh
Kartosoewirjo sebagai tandingan terhadap kekuatan pasukan militer Indonesia. Ia
didirikan pada bulan Februari 1948. TII merupakan gabungan dari Laskar
Hizbullah, Sabilillah, dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang memiliki
andil yang cukup besar dalam perjuangan memerdekakan Republik Indonesia.
Pemberontakan
DI/TII Kartosoewirjo berlangsung lama. Bahkan kian waktu, gerakan itu kian
meluas dan mendapatkan dukungan dari daerah-daerah lain di Indonesia. Di Jawa
Tengah, Amir Fatah menyatakan baiat pada gerakan DI/TII Kartosoewirjo. Menyusul
kemudian Tengku Daud Beureueh di Aceh, Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan, dan
Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan.
Gerakan
pemberontakan Kartosoewirjo baru berhenti pada tahun 1962. Pemerintah yang melancarkan
Operasi Pagar Betis berhasil menangkap hidup-hidup Kartosoewirjo pada 4 Juni
1962, di sebuah gubuk darurat di sekitar gunung Geber Majalaya, Bandung. Dalam keadaan
sakit berat, Kartosoewirjo kemudian dipapah ke Jakarta. Ia harus menjalani proses
peradilan atas apa yang ia telah lakukan.
Tanggal
16 Agustus 1962, di Pulau Ubi yang terletak digugus Kepulauan Seribu, lima butir
timah panas menembus dada Kartosoewirjo. Melalui keputusan eksekusi mati yang
diteken oleh Soekarno, regu tembak menghabisi nyawa Kartosoewirjo. Sang Pemimpin
Negara Islam Indonesia (NII); sahabat masa kecil Soekarno yang membelikan Soekarno
sepeda Fongers itu, meninggalkan Soekarno untuk selama-lamanya.
Satu lagi
sahabat Soekarno pergi. Sebagaimana Musso terdahulu, ia pergi tanpa sempat bertegur-sapa
dengan Soekarno. Ia pergi dengan senyum yang penuh darah.
***
Membayangkan
bagaimana Soekarno ketika mendengar warta tertembaknya Musso atau ketika harus
menanda-tangani surat eksekusi mati Kartosoewirjo, adalah membayangkan bagaimana
perasaan sahabat ketika mendengar kabar kematian sahabatnya yang lain. Ini tentu
adalah momen-momen paling emosional, berat, dan menyedihkan dalam perjalanan
hidup Soekarno.
Terlepas dari tajamnya perbedaan cara pandang mereka, seberapa bersilangnya
jalan hidup yang mereka pilih, dan seberapa besar pertentangan ideologi yang
mereka anut, Soekarno, Musso, dan Kartosoewirjo, tetap adalah sahabat kecil
yang pernah digembleng secara bersama-sama di rumah Tjokroaminoto. Mereka pernah
melewati hidup yang amat berat. Penuh duka, walaupun pasti juga sedikit ada sukanya.
Di rumah Tjokroaminoto, mereka pernah membangun mimpi-besar bersama, yakni
mimpi tentang Indonesia yang merdeka, lepas dari penjajahan asing.
Dan tentu
saja, itu tidak mudah untuk dilupakan.
Ketika
menggambarkan bagaimana suasana kebatinan Soekarno saat mendengar kematian
Musso, Haris Priyatna menulis dengan sendu:
“Soekarno sedang sibuk dengan segepok
surat saat pintu ruangan kerjanya di Gedung Agung diketuk. Nasution yang
datang.
Lapor, Pak. Musso tewas tertembak di
Ponorogo.
Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Oalah,
kenapa ditembak? Apa tak bisa ditangkap saja?
Dia melakukan perlawanan senjata, Pak.
Mas Musso…Mas Musso…begini akhir hidupmu…
Soekarno melangkah ke ambang jendela dan
memandang ke luar.
Bagaimanapun aku tetap menghormati dia. Mas
Musso adalah salah seorang guruku. Kami pernah mengalami suka-duka bersama di
Surabaya dulu. Moskow telah mengubah dia terlalu jauh. Tapi, kita tetap harus
menghormati guru kita.” (hal. 220)
Begitupun
saat meneken surat eksekusi mati Kartosoewirjo, lagi-lagi Haris Priyatna
menulis:
“Berkas vonis hukuman mati Kartosoewirjo
sampai ke meja Soekarno karena harus mendapat pengesahan. Berat sekali Soekarno
menanda-tangani berkas hukuman mati bekas sahabatnya. Terjadi perang dalam
batinnya. Dia menyingkirkan berkas itu. Belum sampai hatinya.
Esoknya, saat menghadapi berkas yang
harus ditanda-tangani, Soekarno mendapati kembali berkas vonis mati Kartosoewirjo.
Dia sisihkan lagi berkas itu. Demikian berulang-ulang, hingga puncaknya
Soekarno begitu frustasi. Dia lempar berkas itu ke udara sehingga berceceran di
lantai ruang kerjanya.” (hal. 240)
Kisah persahabatan Soekarno, Musso, dan Kartosoewirjo—sebagaimana ditulis Haris Priyatna dalam novel ini—memang adalah kisah persahabatan yang tragis. Kisah persahabatan yang berlumur air mata. Juga darah. Mewarisi sifat keras kepala, teguh memegang prinsip, dan tidak mudah tunduk, dari guru mereka (Tjokroaminoto), Soekarno, Musso, dan Kartosoewirjo, kemudian menjelma sosok pejuang yang konsisten, bahkan hingga akhir hayat mereka. Mereka pantang untuk bersurut, bahkan bila peluru pun harus bersarang di dada mereka.
Melalui novel ini, Haris Priyatna hendak menarik garis cerita tentang bagaimana kelamnya ideologi menghempas persahabatan ketiga tokoh bangsa kita itu. Mereka yang bersahabat di masa kecil itu kemudian harus saling berbunuhan di usia menjelang senja. Ideologi memang kejam. Ia bisa membunuh siapa saja. Persilangan ideologi yang dianut oleh Soekarno, Musso, dan Kartosoewirjo membuktikan hal itu. Mereka yang masing-masing terbelah menjadi nasionalis, komunis, dan Islamis, harus saling menumpas satu sama lain.
Dan itu, tentu sama sekali tak pernah mereka bayangkan, jauh sebelumnya: saat masih bersama-sama di Jalan Peneleh VII, Surabaya.
(24 Februari 2023)
2 Comments
Ajiib....
BalasHapusCetak ulang yuk novel itu.
Mantul
Siap, Bang...
HapusPosting Komentar