Rasa-rasanya, belum ada suksesi yang paling banyak menyedot energi umat dan menyulut sentimen agama di era pasca reformasi, selain dari Pilkada DKI Jakarta kemarin, dan kini Pilpres.

Saat pilkada DKI Jakarta kemarin, agama bahkan menjadi: alat identifikasi dan pengelompokkan dukungan politik, senjata menyerang lawan, instrumen konsolidasi, dan sekaligus sumber legitimasi. Di tangan agamalah, pemilih dan calon pemimpin kemudian dipisahkan berdasarkan kategori: umat dan non umat, muslim dan non muslim, baik dan buruk, bersih dan kotor.

Politik kategoris itu kini berlanjut di Pilpres. Kini berkembang (dan sengaja dikembangkan) isu pemimpin Islam dan anti-Islam, ulama dan non ulama. Isu ini dipakai untuk membelah dan sekaligus mempertegas dukungan politik. Agama menjadi alat untuk mendefinisikan kita dan mereka (the other), kawan dan lawan.

***
Memang, bila dirunut perang isu agama di jagad politik bermula saat umat Islam merasa bahwa PDIP dan pemerintahan Jokowi secara umum tidak pro terhadap umat Islam. Ibarat mana lebih dulu telur atau ayam, tak diketahui pasti siapa yang memulai. Yang pasti, perang ini meledak. Massif dan terbuka.

Umat Islam menyerang pemerintahan, atas nama agama. Membela ajaran Tuhan. Pemerintah membalas: menangkapi dan kemudian memenjarakan mereka-mereka yang dianggap provokatif dan penyebar ujaran kebencian. Ini terus berulang. Dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain.

***
Apa yang tengah kita saksikan sekarang ini sesungguhnya amat memprihatinkan. Tragis. Dimana-dimana, tampak anak bangsa saling cakar. Memaki dan bahkan tidak jarang melakukan kekerasan secara fisik menjadi tontonan sehari-hari. Di alam nyata, juga maya.

Kuntowijoyo menyebut inilah fase paling menyedihkan dalam sejarah sosial bangsa Indonesia. Umat Islam, sebagai penganut agama mayoritas di Indonesia, di masa lalu sesungguhnya pernah mengalami fase ini. Fase dimana struktur sosial oleh umat Islam dipilah berdasarkan kategori: umat dan non umat.

Di era tahun 1990-an, dan terlebih sekarang, pasca reformasi, kesadaran ini mulai tampak bergeser. Umat Islam mulai bisa memosisikan diri sebagai warga negara. Sebagai penganut agama Islam, umat Islam menjadi bagian utuh dari umat Islam, sementara sebagai penduduk, umat Islam bisa menempatkan diri sebagai warga negara yang baik pula. Warga negara yang menyatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lihat otobiografi Deliar Noer "Aku Bagian Umat, Aku Bagian Bangsa").

***
Berkaca pada apa yang kini terjadi, situasi politik nasional jelang Pilpres hanya bisa aman dan sehat, jika terpatri kesadaran bahwa kita semua--tanpa memandang suku, agama, dan ras--adalah anak-anak bangsa yang memiliki posisi yang sederajat. Relasi yang terbangun adalah relasi warga-bangsa. Bukan yang lain.

Pun demikian, negara harus bisa memosisikan warganya secara adil. Siapapun itu dan agama apapun dia, tetap adalah anak bangsa yang harus dihormati hak-hak politiknya. Ketidakadilan negara dalam memperlakukan warganya hanya akan bermuara pada konflik dan perlawanan. Terus menerus.

Bila ini yang dilakukan, yakin saja secara perlahan-lahan kita bisa mengikis perbedaan-perbedaan berbasis isu agama yang muncul. Dan dalam jangka panjang, kelak kita bisa hidup secara sehat; hidup sebagai anak-anak bangsa yang bangga terhadap bangsanya.

Foto: www.nu.or.id

(15 Agustus 2018)

0 Viewers