Demokrasi mungkin mati bukan di tangan para jenderal, melainkan di tangan para pemimpin terpilih—presiden atau perdana menteri yang menggagalkan proses yang membawa mereka ke tampuk kekuasaan (Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt)

Jelang Pilkada serentak 27 November 2024, ruang publik (public sphere) kita—meminjam istilah Jurgen Habermas—hari-hari ini dilimpahi oleh aneka perdebatan yang jauh dari harapan. 

Di panggung luar, panggung para pendukung dan tim sukses kandidat, letupan makian, hoaks, kekerasan verbal, menyeruak sebagai cara yang lumrah dalam memenangkan kontestasi. Arena pertarungan ditumbuhi oleh suatu semangat: tak peduli walau harus menebas rerimbunan orang asal itu untuk kemenangan, lakukan!

Lihatlah bagaimana media sosial kita, WhatsApp Group (WAG) kita, diisi oleh lalu-lintas percakapan yang tak mencerahkan. Alih-alih membawa kita kepada suatu penggambaran masa depan yang lebih baik terhadap daerah atau gagasan-gagasan besar selaiknya para pemimpin kita di masa lampau, yang ada adalah: kita bertengkar untuk perkara-perkara yang amat remeh-temeh dan menggelikan. Lagi terjerembab pada cara-cara yang bar-barian.

Sementara itu, di panggung dalam, jauh di dalam tubuh para kandidat itu sendiri, tersembunyi hasrat yang patut kita curigai bersama. Yakni bagaimana keinginan untuk berkuasa, tidak dilatari oleh visi untuk menyejahterakan, mewujudkan keadilan, dan merealisasikan hak-hak dasar masyarakat, melainkan untuk memenuhi ego dan ambisi pribadi. 

Demokrasi dimanipulasi. Suara rakyat dibeli. Kontestasi dicederai. Semua itu dilakukan agar hasrat untuk berkuasa bisa dicapai dengan mulus. Tanpa hambatan.

Pilkada sebagai ‘instrumen politik’ untuk melakukan koreksi terhadap kekuasaan yang lagi berjalan sekaligus memverifikasi figur yang tepat untuk (melanjutkan) lima tahun ke depan, tak lebih dari sekadar ajang tukar suara. Demokrasi menjadi angka-angka semata. Semakin tinggi jumlah masyarakat yang menggunakan hak pilih, semakin demokratis dan partisipatif proses pemilihan dipandang. Tak penting di dalam itu terjadi tindak yang mencederai proses demokrasi, semisal politik uang, bagi-bagi sembako, dan lain-lain.

Di pentas debat kandidat—baik itu Gubernur/Wakil Gubernur, Walikota/Wakil Walikota maupun Bupati/Wakil Bupati—yang diselenggarakan oleh KPU hingga ke putaran kedua belum lama ini, gejala yang kita khawatirkan bersama itu tampak.

Ada sejumlah calon kepala daerah, yang bahkan untuk sekadar bicara di hadapan publik saja gelagapan. Apalagi bila kita minta untuk memaparkan gagasan-gagasan besar tentang kepemimpinannya kelak. 

Lantas, apa sebenarnya yang hendak dipertukarkan oleh calon kepala daerah seperti ini kepada masyarakat?

Kepemimpinan tegak di atas gagasan. Itu rumus baku. Dalam semua kitab pengetahuan, dalam semua teori kepemimpinan, tak akan kita temui ada fondasi lain kepemimpinan di luar gagasan. Dan demokrasi, sejatinya, memang diorientasikan untuk mewujudkan kepemimpinan gagasan itu—suatu model kepemimpinan yang bertumpu pada kekuatan visi dan keberpihakan yang tiada berperi kepada rakyat kecil.

Jadi kalau ada seseorang yang hendak mencalonkan diri sebagai Gubernur/Wakil Gubernur, Walikota/Wakil Walikota, Bupati/Wakil Bupati tapi tak memiliki gagasan, kita patut mempertanyakan: apa kekuasaan bagi dia dan apa motivasi yang melatarinya untuk berkuasa?

***

Goenawan Mohamad ketika memperkenalkan terminologi egokrasi pada tahun 1995, menyinyalir adanya hasrat yang kian menggelinding laksana bola salju dari tubuh kekuasaan Soeharto dan Orde Baru, untuk lebih mengutamakan pemenuhan kepentingan pribadi, keluarga, dan kolega, daripada rakyat kebanyakan. 

Ini ditandai dengan mulai dibukanya kran Siti Hardiyanti Rukmana (anak pertama Soeharto) untuk masuk ke gelanggang politik—kelak tahun 1998 ia diangkat jadi menteri. Pun demikian dengan anak-anak maupun kolega Soeharto yang lain. Jalan untuk menguasai panggung politik dan ekonomi nasional kian di buka lebar. 

Oleh karena itu, tidak heran hingga di penghujung usia kekuasaannya, pengaruh politik Soeharto dan koleganya sangat kuat. Mencengkeram hingga sampai ke tingkat akar rumput (grass root). Sepanjang sejarah politik Indonesia, Soeharto-lah pemimpin yang punya pengaruh paling besar dan lama (32 tahun) dibanding pemimpin-pemimpin yang lain. Ia berhasil membangun gerbong kekuatan oligarki, yang dampaknya bagi negara-bangsa masih terasa hingga kini.

Goenawan Mohamad menggunakan terminologi egokrasi untuk memberi definisi terhadap situasi seperti itu. Di era pasca orde baru, sayangnya, proses konsolidasi demokrasi kita tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tak lama setelah reformasi digelindingkan, malah yang terjadi adalah: kereta demokrasi mengalami pembegalan. Di tengah jalan, kita kemudian ramai-ramai mengangkangi demokrasi. Atas nama demokrasi, kita lantas saling-kelahi berebut kuasa. 

Reformasi berhasil melepas kita dari cengkeraman rezim despotik orde baru dan membawa kita ke alam baru: alam demokrasi. Tetapi demokrasi yang kita songsong adalah demokrasi yang mengalami pembusukan.

Memang problem mendasar dari demokrasi adalah ketidakmampuannya untuk menelusuri sampai pada titik paling mendalam hasrat yang melatari seseorang untuk berkuasa. Instrumen untuk itu tak tersedia. Sebagai sebuah mekanisme untuk alih kepemimpinan, memang sejauh ini demokrasi adalah opsi terbaik di dunia. Hanya saja, ia paling rentan diselundupi oleh kepentingan-kepentingan individu dan kelompok tertentu.

Dalam kondisi seperti ini, demokrasi berubah menjadi alat untuk melayani kepentingan individu dan kelompok tertentu saja. Bukan rakyat kebanyakan. Adalah absah misalnya, seorang anak, istri, keluarga, dan kolega dari Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur atau pejabat publik lainnya untuk menduduki atau mencalonkan diri pada jabatan tertentu, tetapi kualifikasi dan proses untuk menjadi pejabat publik itu apakah benar-benar merupakan aspirasi dari bawah atau tidak. Atau, demokrasi hanya sekadar dimanfaatkan untuk memuluskan jalan merebut kekuasaan.

Model egokrasi adalah model yang tak memberi ruang bagi merit (keunggulan) sebagai ukuran dalam menilai kepemimpinan seseorang. Di dalamnya kinerja, rekam-jejak, prestasi, kapabilitas, dan visi, tak menjadi parameter. Sebaliknya loyalitas, kedekatan, dan manfaat secara “mutualistik”, itulah yang dipegang erat. 

Inilah satu-satunya alasan: kenapa ada banyak pejabat publik yang menduduki jabatan-jabatan mentereng di negara-bangsa ini, tetapi tak memiliki kapabilitas yang cukup. Inilah juga alasan kenapa jauh lebih mudah bagi anak, keluarga atau kolega seseorang yang menduduki jabatan strategis untuk berkuasa ketimbang mereka yang tidak memiliki akses terhadap kekuasaan walau berlimpah gagasan, rekam-jejak atau visi yang tangguh.

Tampaknya butuh waktu berpuluh-puluh tahun lagi bagi kita untuk mengembalikan demokrasi ke aras sejatinya: sebagai model saluran aspirasi terbaik dan panggung bagi mereka yang mempunyai gagasan untuk memimpin.

(18 November 2024)

0 Viewers