Kita tak benar-benar bisa percaya
bahwa pikiran bisa menjadi sumber kejahatan.

Madinat an-Nasr, 8 Juni 1992. Lelaki itu akhirnya meregang nyawa. Dalam sebuah rangkaian ‘pertengkaran’ bertahun-tahun dengan para alim-ulama, dua orang simpatisan Jamaah Islamiyah menghabisi hidupnya. Sebelumnya, oleh para alim-ulama ia didakwa telah murtad. Ia dianggap menyebarkan cara pandang yang mengancam formalisme Islam.

Lelaki itu adalah Faraq Fouda. Seorang aktivis-cum-pemikir Islam yang cemerlang. Ia lahir di Damietta (Mesir) pada tanggal 20 Agustus 1945—beberapa saat setelah berkumandang proklamasi kemerdekaan RI. Ia menulis buku dan banyak catatan kritis. Salah satu bukunya yang menjadi pemicu kemarahan para alim-ulama itu adalah Al-Haqiqah Al-Ghaibah. Oleh Yayasan Abad Demokrasi, buku itu diterbitkan di Indonesia dengan judul “Kebenaran yang Hilang”.

Beberapa saat yang lalu saya baru berkesempatan membacanya. Saya terhenyak. Saya menemukan sesuatu yang tak biasa. Fouda menuturkan perspektif sejarah Islam yang tak pernah saya temui sebelumnya. Seumur hidup. Fouda menguliti kekelaman di seputar peradaban dan kepemimpinan politik Islam masa lampau. Dan karena itu, ia dibunuh.

Fouda terlalu jujur. Dan membahayakan.

‘Puncak Gunung Es’

Kasus Fouda hanyalah salah satu ‘puncak gunung es’ dari sekian banyak kasus yang melibatkan tindak kekerasan sebagai cara umat Islam dalam merespons perbedaan. Sebelumnya kita pernah mendengar bagaimana Salman Rushdie difatwa mati oleh Pemimpin Spiritual Iran, Ayatullah Khomeini. Salman difatwa mati akibat novelnya yang berjudul The Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan).

Atau jauh sebelumnya lagi. Bagaimana klaim benar dan kafir begitu mudah dilekatkan pada mereka yang berbeda cara pandang dengan kita. Sebut contoh, bagaimana kaum teolog menuduh para filsuf sebagai orang-orang yang ‘keluar’ dari jalan Tuhan. Sementara, sebaliknya, para filsuf menyerang balik kaum teolog sebagai orang-orang yang nihil akal. Atau, bagaimana kaum tekstualis-skripturalis menuduh para sufi sebagai orang-orang yang tersesat. Dan lain sebagainya.

Atas semua itu, tak jarang, kita kemudian saling menghabisi.

Jalaluddin Rakhmat menyebut bahwa kasus perbedaan pendapat, mazhab, cara pandang—yang kadang berujung pada tindak kekerasan—itu muncul karena: pertama, standarisasi kebenaran. Kebenaran diukur dengan cara pandang kita. Takaran kita. Apa yang tak sejalan dengan cara pandang kita berarti salah. Sebaliknya, cara pandang kitalah yang paling sahih.

Kedua, claim of truth. Atau otorisasi kebenaran. Sejumlah orang, kelompok, organisasi, atau mazhab, mengklaim diri sebagai pemilik tafsir kebenaran. Kebenaran dikerangkeng menjadi milik individu, kelompok, organisasi, atau mazhabnya saja (Baca Jalaluddin Rakhmat, Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih, 2007).

Adanya sikap demikian, pada gilirannya, akan membawa kita pada penunggalan kebenaran. Kebenaran adalah cara pandang kita. Kebenaran harus menjadi milik mazhab kita. Kelompok kita. Atau organisasi kita. Padahal, kebenaran tak bisa didekati dengan cara demikian. Secara epistemologis, kebenaran bersifat gradatif. Ia adalah sesuatu yang terus dapat dikembangkan. Dan juga, dikoreksi. 

Sejauh ia tak menyangkut pengakuan pada aspek-aspek yang bersifat prinsipil-ideologikal, semisal tauhid dan kenabian—atau jika diperluas menjadi rukun Islam dan rukun iman, maka wilayah perdebatan memungkinkan untuk ditoleransi. Tuhan adalah benar adanya. Pengakuan atas adanya eksistensi Tuhan adalah tali ikatnya. Sebaliknya penolakan terhadap eksistensi Tuhan (berupa ateisme atau materialisme) adalah lawan darinya. Oleh karena itu, kenapa agama menolak keras ateisme dan materialisme. Dan selanjutnya, mengutukinya sebagai sebuah kejahatan yang tak terampuni (kafir).

Adapun sebaliknya, teori atau pengetahuan tentang Tuhan adalah terbuka. Ia bisa diperdebatkan oleh siapa saja. Dengan pendekatan apa saja. Tak boleh ada penghukuman salah-benar. Merujuk pada kaidah falsifikasi Karl R. Popper, “Semua harus diletakkan benar, sampai kemudian terbukti ia salah.” Dalam konteks ini, kearifan dalam pencarian kebenaran dan dialog yang humanis adalah kata kuncinya. Tak boleh ada yang disesatkan. Tak boleh ada yang dikafirkan.

Deotorisasi

Islam tak hadir dalam ruang hampa sejarah. Islam adalah sebuah proses yang terus menjadi (becoming). Bergerak dari masa lampau, masa kini, hingga masa depan. Dalam aspek ini, dimensi kekinian (temporalitas) dan kedisinian (historisitas) tak bisa dipisahkan begitu saja dari Islam. Islam bukan saja sekumpulan doktrin, ajaran, dan kepercayaan yang mutlak untuk kita jalankan. Tetapi juga sekaligus ‘alat petunjuk’ bagi kehidupan sosial yang lebih baik. Sehingga adalah mustahil memisahkannya dari dinamika sosial yang terjadi.

M. Amin Abdullah—Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta—memperkenalkan pendekatan historisitas sebagai sebuah cara untuk membaca (studi) Islam. Katanya, pendekatan normatif (normativitas) tak lagi cukup dipakai untuk menjawab berbagai tantangan kehidupan dan kemanusiaan di masa kini. Kompleksitas problem global menuntut agama harus bisa lebih cakap dalam menyelesaikannya.

Belum lagi perkembangan ilmu pengetahuan. Di Barat, ilmu pengetahuan telah berkembang sedemikian pesat. Ini tentu saja berpengaruh terhadap bagaimana mereka memandang agama—dan meletakkan agama sebagai sebuah wilayah studi. Sebut saja filologi, hermeneutika, strukturalisme, posstrukturalisme, fenomenologi, dan lain-lain. Ilmu-ilmu alat ini berpengaruh besar dalam memperkaya pendekatan mereka dalam mengonstruk cara pandang dan peran agama pada kehidupan sehari-hari.

Sementara itu, pendekatan normatif, alih-alih membuat agama tampak lincah menghadapi tantangan kehidupan, malah menjadikan ia berjarak dengan realitas. Agama menjadi kaku dan tak cukup bisa diharap menjadi problem solver atas sejumlah permasalahan sosial. Agama berhenti sekadar sebagai sebuah teks—yang kering dari penghayatan atas dinamika sosial yang terjadi. Juga terposisikan sebatas menjadi ‘palu’ penghukum bagi benar dan salah. 

Para alim-ulama dalam konteks ini memiliki peranan pokok. Para alim-ulama memiliki kewenangan yang ‘besar’ sebagai penafsir atas teks, doktrin, dan ajaran Islam. Apa yang dikatakan benar oleh alim-ulama adalah benar sebagaimana adanya. Umat tinggal mengikut saja.

Besarnya peran dan posisi alim-ulama menjadikan agama amat bergantung pada mereka. Wajah agama adalah wajah alim-ulama. Padahal, belum tentu semua alim-ulama memiliki kualifikasi untuk dijadikan sebagai rujukan. Ini ditunjukkan, misalnya, oleh alim-ulama yang muncul secara instan (pop). Atau alim-ulama yang mengembangkan cara pandang yang intoleran, yang tentu saja amat berbahaya bagi masa depan keberagaman di Indonesia.  

***

Deotorisasi sebagai sebuah semangat pendekatan historisitas dalam studi agama, hadir dengan pretensi untuk menolak pembakuan otoritas alim-ulama seperti itu. Agama, bila meminjam hermeneutika—ilmu tentang menafsirkan—bukanlah sesuatu yang terdiri dari teks semata, melainkan terhubung dalam sebuah skema yang bersifat triadik: author (pencipta/pemilik teks)—dalam agama biasa disebut Tuhan, teks itu sendiri, dan penafsir.

Tuhan selaku pencipta/pemilik teks tak pernah menjelaskan secara langsung kepada manusia (umat-Nya) makna atas setiap teks (petunjuk-Nya). Ini karena perbedaan realitas. Tuhan selalu menunjuk para Nabi (manusia terpilih)—yang berasal dari unsur realitas yang sama—untuk memberikan penjelasan atas makna setiap teks kepada manusia lainnya. Pun demikian dengan teks, adalah mustahil untuk bisa menjelaskan dirinya sendiri pada manusia.

Jauhnya rentang waktu kehidupan kenabian dengan zaman kini, memungkinkan bertumbuh atmosfer penafsiran. Tentu saja, tak mungkin teks-teks keagamaan kita jalankan sebagaimana dulu—zaman nabi. Karena konteks sosio-historis maupun kulturalnya telah berbeda jauh. Kehadiran para alim-ulama telah amat membantu memberikan makna atas setiap teks. Tetapi itu saja tidak cukup. Butuh ruang bagi semua (umat) untuk mempercakapkan agama secara sehat. Dan intelektual. Dengan kata lain, pembakuan otoritas atas tafsir terhadap teks-teks keagamaan di tangan para alim-ulama (apalagi alim-ulama tertentu saja) tak relevan untuk dipertahankan.    

Tetapi, deotorisasi tak berarti anti alim-ulama. Atau menolak urgensi dan otoritas alim-ulama dalam kehidupan beragama. Deotorisasi memiliki keinginan untuk memperluas definisi, wilayah kompetensi, dan kerja alim-ulama. Alim-ulama benar-benar diharapkan bisa fungsional sebagai penyampai ‘pesan-pesan langit’ dari agama, juga sekaligus sebagai pembentuk kehidupan yang baik.

Pertama, kualifikasi intelektual. Di sejumlah negara Islam, gelar ustaz, alim-ulama, bukanlah pelabelan terhadap diri atau pengakuan yang dibuat terhadap seseorang, tetapi menunjukkan kualifikasi intelektual. Tak ada seseorang yang kemudian secara mudah disebut sebagai ustaz hanya karena ia memakai serban atau mendirikan lembaga pendidikan Islam. Gelar itu adalah hasil pencapaian atau karir intelektual seseorang, yang didapat secara berdarah-darah dengan menempuh pendidikan yang panjang.

Dengan demikian alim-ulama sudah pasti adalah intelektual. Atau, kalau ia adalah intelektual, bisa menjadi alim-ulama.

Kedua, penguasaan interdisiplin ilmu. Penguasaan ilmu-ilmu alat dalam membaca dan mengamalkan teks keagamaan, menjadikan Islam kaya akan perspektif. Islam menjadi agama yang dinamis. Islam menjadi agama yang selalu bisa merespon perkembangan zaman. Apa saja tantangan yang muncul pada zaman tertentu bisa dijawab oleh Islam. Islam tidak muncul dalam satu perspektif tunggal, yang oleh karena itu, hanya berlaku bagi kelompok, mazhab, atau organisasi tertentu.           

Inilah prasyarat yang, harapannya, bisa ada pada alim-ulama kita. Jika ini ada, maka yakin saja Islam akan bertumbuh sebagai agama yang maju, terbuka, adaptif dengan dinamika zaman, dan taman yang melimpah perspektif di dalamnya.

Wallahu A’lam. 

Foto: www.pesantren.id

(31 Oktober 2021)

0 Viewers