Dalam relasi produksi yang timpang, penghisapan pada kaum buruh tak hanya terjadi, tetapi dilanggengkan.
Keadilan adalah tema pokok dalam agama Islam. Menegakkan keadilan berarti menegakkan agama. Bahkan, dalam banyak firman disebutkan bahwa: misi utama dari kehadiran agama-agama di muka bumi ini adalah dalam rangka menunaikan keadilan. Tak ada keadilan, tak ada agama. Jadi, posisi keadilan adalah setara dengan agama. Agama adalah keadilan. Dan keadilan adalah agama itu sendiri.
Sayangnya, dalam realitas kehidupan, keadilan alpa dipraktekkan. Bahkan oleh para pemuka agama sekalipun. Agama hingga kini masih berporos pada pemujaan semata kepada Tuhan. Agama masih milik langit. Agama belum mengejawantah sebagai basis ideologis dan semangat pembentukan kehidupan sosial yang adil. Agama belum turun ke bumi.
Padahal, agama tercipta—atau diturunkan oleh Tuhan—bukan untuk Tuhan, melainkan untuk manusia. Agama adalah seperangkat doktrin, sistem nilai, dan laku, yang diturunkan oleh Tuhan sebagai acuan manusia dalam menjalani kehidupan. Manusia, bila berpegang pada agama pasti selamat, bila tidak pasti celaka. Oleh karena itu, agama sesungguhnya berfokus pada manusia. Pada kehidupan manusia. Tindakan menunaikan seluruh ajaran agama—yang di dalamnya ada keadilan—sesungguhnya adalah tindakan menegakkan kemanusiaan. Sebaliknya, tindakan mengabaikan ajaran agama adalah tindakan mengangkangi kemanusiaan. Dan itu dimurkai Tuhan.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), suatu ketika menyatakan: Tuhan tidak perlu dibela. Statemen Gus Dur ini tidak keliru. Ia tak dapat diletakkan sebagai sikap yang abai terhadap agama. Atau, bahkan menghina Tuhan. Semisal, bila ada yang melecehkan Tuhan kita diam saja. Tidak. Statemen Gus Dur harus diletakkan dalam semangat: bagaimana agama bisa kembali ke arasnya. Bagaimana agama menjadi jalan bagi pembebasan kemanusiaan (humanisasi). Agama tak hanya sekadar menjadi agenda ritual-personal semata.
Mulla Sadra, dalam risalahnya tentang empat tahap perjalanan (al-Asfar al-Arba’ah), menyebut bahwa tahap akhir dari seluruh rangkaian perjalanan spiritual seorang manusia adalah: perjalanan dari makhluk ke makhluk bersama Tuhan (al-Safar fi al-Khalq bi al-Haq). Suatu tahap dimana manusia setelah mencerap (tajalli) sifat-sifat mulia Tuhan dalam dirinya, kemudian “turun tangan” menunaikan agenda kemanusiaan. Membela kaum papa, menyuarakan keadilan, dan melawan sistem yang tidak adil. Inilah tugas luhur seorang manusia.
Surga, dalam doktrin Islam, bukanlah sesuatu yang jauh “di sana”. Sebagai balasan terhadap apa yang kita perbuat di dunia, ia tak nanti kita temui setelah mati. Surga adalah sesuatu yang ada “di sini”. Ia adalah bagian dari dinamika hidup. Ia dekat dengan hidup ini. Ia adalah kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, dalam banyak studi, disebutkan bahwa laku mencapai surga (akhirat) hanya dapat dicapai dengan terlebih dahulu mensurgakan dunia.
Dengan kata lain, surga adalah kondisi. Situasi sosial. Kenyataan sehari-hari. Hadirnya kebahagiaan pada semua warga-manusia, tegaknya keadilan, hidup yang egaliter, dan lain sebagainya, adalah wujud nyata “surga” dalam kehidupan ini. Dan tindakan untuk mewujudkannya adalah tindakan surgawi.
***
Apa yang, setiap tanggal 1 Mei, disuarakan oleh kaum buruh idealnya tak hanya berhenti pada sekadar menuntut kenaikan upah. Upah adalah orientasi ekonomi. Tetapi lebih dari itu, kaum buruh harus berjuang untuk menuntut tegaknya sistem yang adil. Karena di sinilah pangkalnya. Di sinilah pemakluman atas praktik penghisapan bermuara.
Kemiskinan, secara teoritik, adalah keserba pas-pasan seseorang secara ekonomi. Sebagai sebuah kenyataan hidup, ia bisa diterima. Artinya, kemiskinan tak dapat ditolak. Ia adalah sunnatullah. Di kehidupan mana pun, niscaya akan kita temui yang namanya: si kaya dan si miskin. Bahwa kita menjadi buruh-pabrik, buruh-tani, buruh-bangunan, buruh-pikul di pasar, tukang-becak, tukang-ojek, dan lain-lain, itu adalah kenyataan hidup yang harus kita terima. Tetapi yang susah—dan itu harus kita lawan—bila dalam hubungan kerja kita terjadi ketidakadilan. Atau, kita menjadi aneka buruh itu, karena memang keadilan tidak tercipta di negeri ini.
Memang, buruh, dalam hirarki kerja acap diperlakukan secara tidak adil. Itu tidak hanya menyangkut upah murah. Tetapi, juga dalam banyak hal diperlakukan secara sewenang-wenang. Dalam soal upah misalnya, selalu saja itu ditentukan secara sepihak oleh majikan. Tidak pernah lahir sebagai hasil keputusan bersama.
Situasi ini kemudian mencipta ketergantungan. Buruh berada dalam situasi dilematis. Di satu sisi, upah selalu tak sesuai dengan hasil keringatnya. Sehingga ia terus tergantung (dependen) pada majikannya. Sementara di sisi lain, bila ia menolak upah yang ada, maka berarti ia berhenti untuk bekerja. Menganggur.
Islam sangat mengecam praktek demikian. Secara tegas Islam menyatakan, “bayarlah upah buruh, sebelum kering keringatnya.” Inilah doktrin Islam. Dalam relasi produksi, buruh harusnya tak diposisikan sebagai variabel/komponen produksi semata. Tetapi sebagai aset. Modal yang menjadikan usaha akan tetap terus berjalan.
Bila perspektif ini yang hadir, maka kita akan memperlakukan buruh sebagai manusia. Sebagai sesuatu yang juga memiliki andil penting dalam mata rantai produksi. Kita akan memperlakukan buruh menjadi jauh lebih humanis.
Selanjutnya, perspektif ini akan memunculkan model penggajian yang adil. Buruh akan dibayar sesuai dengan keringat yang ia keluarkan. Ia dibayar sesuai dengan kinerjanya. Sehingga hubungan kerja yang terbangun adalah hubungan antara hak dan kewajiban, yang di dalamnya ada keadilan.
Majikan (atau perusahaan) pun bertanggungjawab untuk mengedukasi buruh; meningkatkan kompetensi mereka; Emotional Intelligence mereka. Peningkatan kinerja paralel dengan kompetensi dan semangat kerja. Bila tak ada kompetensi dan semangat kerja, mustahil kita berharap kinerja mereka naik.
***
Jadi, Islam tak hendak menghapus relasi antara buruh dan majikan. Buruh, sebagai sebuah entitas kerja, tetap ada dalam struktur sosial masyarakat manapun. Islam hanya datang untuk menegakkan keadilan pada hubungan antar keduanya. Islam hendak menjadikan hubungan keduanya berada dalam posisi yang “saling mengakui” dan humanis. Sebaliknya, Islam membenci ketidakdilan. Ketidakadilan di “arena kerja” adalah kejahatan ekonomi yang mahadahsyat.
Islam, oleh karena itu, berbeda dengan Marxisme tak hendak membangun—apalagi melanggengkan—kontradiksi kelas. Kontradiksi antara buruh dan majikan. Islam tak hendak mengorientasikan perjuangan kelas dalam kerangka merebut dominasi kaum borjuis (majikan) di arena kerja. Atau kekuasaan politik dari tangan mereka. Islam hendak menujukan perjuangan kelas lebih pada upaya untuk menciptakan keadilan. Inilah bedanya Islam dengan Marxisme.
Setelah keadilan tegak, maka dalam Islam tidak menjadi penting siapa yang memimpin. Maksudnya, siapapun ia, tak peduli berasal dari kaum buruh, majikan, atau yang lain, ia bisa menjadi pemimpin. Asal ia memenuhi kualifikasi sebagai pemimpin yang adil. Dan amanah.
Itu saja.
(05 Mei 2019)
0 Viewers
0 Comments
Posting Komentar