Hingga Sanis bercerai dengan Pak Dirga, Lurah Tanggir, cerita cinta Pambudi padanya tak jua menemui kejelasan. Yang ada justru kehadiran Mulyani; gadis Tionghoa, mantan anak majikan Pambudi.

Mulyani, gadis cantik, hadir menemui Pambudi saat Pambudi kehilangan ayah. Ayah Pambudi meninggal setelah jatuh di dekat sumur. Dituturkan, Mulyani datang menemui Pambudi. Kemudian, berdua mereka memutuskan pergi ke Bandung. Namun di pertengahan jalan mereka memilih kembali.

“Dengarlah Pambudi. Sudah kukatakan, selain hendak menyampaikan rasa simpati atas kematian ayahmu, aku membawa masalah lain.

Mulyani menunduk. Tangannya bermain-main dengan sebuah manggis yang dibawa Pambudi dari rumah.

…Mul, bagaimana aku dapat mengetahui masalah yang kau maksud, bila kau sendiri tidak mengatakannya?”

Benci, benciiii! Sejak pertama kali berbicara padamu empat tahun lalu aku sudah benci padamu. Kau tidak menghargai perasaan!

…Mobil itu berbalik, kembali ke timur. Bukit Cibalak ada di samping kanan mereka. Cibalak diam, sabar menanti apa pun yang bakal terjadi padanya. Tetapi seolah-olah Cibalak mengerti, seorang pencintanya sedang pergi meninggalkannya.”

Demikian Tohari menutup kisah cinta Pambudi dalam novelnya Di Kaki Bukit Cibalak.Ahmad Tohari, demikian nama lengkap penulis novel yang rajin mengangkat tema-tema tentang kehidupan di desa sebagai latar novelnya, menutup kisah Pambudi dengan tak memberi kejelasan. Ceritanya menggantung. Endingnya diserahkan kepada pembaca sendiri.

Saya sendiri lebih setuju Pambudi melabuhkan hatinya pada Mulyani. Ini bukan tanpa alasan, Mulyanilah yang banyak membantu Pambudi kala Pambudi terseok-seok mengumpul rupiah guna menopang hidup dan kuliahnya di Yogya. Mulyanilah yang hadir secara tulus, mendampingi Pambudi. Hari demi hari.

Bila harus berpisah, satu-satunya alasan yang tersedia adalah: bahwa Mulyani adalah gadis kaya raya; anak pemilik toko yang sangat dikenal di Yogya, sementara Pambudi adalah anak dusun, miskin pula. Tembok yang terbentang di antara mereka tidak saja agama, tapi juga ekonomi.

Sedangkan Sanis, walau juga menaruh harap pada Pambudi. Tetapi berkhianat. Jangankan mau menunggu Pambudi yang pergi ke Yogya untuk melanjutkan kuliah, ia bahkan takluk pada nafsu seorang lelaki tua. Lurah yang korup. Dan telah beristri tujuh pula, sebelum meminang Sanis.

Suatu ketika, saat isu tentang Pambudi yang menilap uang koperasi desa berhembus dimana-mana, Sanis ikut membenci Pambudi. Ia bahkan tak mengklarifikasi pada Pambudi, kala, pada suatu waktu Pambudi datang mengunjunginya. Ia hanya berucap sinis, merespon pembicaraan Pambudi. Ia turut mengadili Pambudi secara in absentia.

Tetapi, sebagaimana kebanyakan novel Tohari, ada kesan yang kuat ia hendak mengarahkan akhir cerita pada: Pambudi yang kembali ke Sanis. Ini dikuatkan dengan adanya fragmen dimana istri Dirga (sebelum Sanis) yang datang ke seorang dukun berilmu saat Dirga hendak menikahi Sanis. Berkat dukun berilmu itu, Dirga bisa dibuat impoten olehnya.

Dalam konteks ini, Tohari menurut saya dapat disebut sebagai satu di antara novelis “konservatif”. Ia selalu memosisikan desa sebagai sesuatu yang lebih baik daripada kota. Desa adalah sumber kebaikan. Ada kepolosan, juga kejujuran di sana. Ia memuja desa. Nilai-nilai yang terbangun di desa lebih baik daripada di kota. Menurutnya. Dan dalam perkara cinta: orang-orang desa lebih murni, lebih tulus, daripada orang-orang kota.

***
Novel Di Kaki Bukit Cibalak sendiri, jika hendak kita baca, adalah sebuah kisah tentang pergulatan Pambudi dalam menghadirkan kebenaran di desanya: Desa Tanggir. Desa Tanggir, sejak dipimpin oleh Dirga, mengalami destruksi yang mahaberat. Kolusi merajalela. Korupsi dilakukan dengan begitu telanjang. Kesewenang-wenangan terjadi saban hari. Dirga, bersama anak buahnya, Poyo, mengelola desa sesuka hati mereka.

Pambudi yang menjadi pengurus koperasi desa memilih mengundurkan diri, setelah keinginannya untuk membantu Mbok Ralem ditolak oleh Dirga. Mbok Ralem hendak meminjam beras desa agar bisa dijual untuk keperluan ia berobat. Mbok Ralem menderita kanker di leher, yang membuatnya begitu menderita dan kesakitan.

Pambudi selepas berhenti dari pengurus koperasi desa, berinisiatif untuk membantu secara sukarela Mbok Ralem. Berbekal uang tabungan sebanyak 70 ribu, dibawanya Mbok Ralem ke Yogya. Mbok Ralem dirawat di sebuah rumah sakit di Yogya.

Pambudi hampir putus asa ketika mengetahui bahwa biaya operasi Mbok Ralem begitu besar: 500 ribu. Untung saja, niat memberitakan perihal Mbok Ralem yang tetiba terlintas dibenaknya, membuahkan hasil. Atas jasa Pak Barkah, Pemimpin Redaksi sekaligus owner Harian Kalawarta, Pambudi tidak saja berhasil membayar biaya pengobatan Mbok Ralem, tetapi juga sekaligus memberi uang yang lebih dari cukup untuk membiayai hidup Mbok Ralem dan kedua anaknya di Tanggir.

Keberhasilan Pambudi mengobati Mbok Ralem membuat Dirga kecut. Ia tidak saja ogah membantu warganya, tapi juga susah menerima setiap jejak kebajikan Dirga. Dalam puncak kemarahannya, dirancanglah skenario jahat untuk menghancurkan Pambudi. Pambudi diisukan menggelapkan uang koperasi sebesar 125 ribu.

Fitnah jahat ini membuat Pambudi dan keluarganya terpukul. Atas saran ayahnya, Pambudi diminta untuk menyingkir sementara ke Yogya. Pambudi melanjutkan kuliahnya, yang lama tak tertunai akibat nihilnya biaya.

Di Yogya inilah, kisah antara Pambudi dan Mulyani terajut. Bermula dari kebutuhan untuk membiayai kuliahnya, Pambudi melamar kerja. Secara kebetulan, ia diterima di sebuah toko bangunan. Toko milik ibu Mulyani.

Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari Pambudi melanjutkan hidup. Dan kuliah. Mulyani yang simpati dengan perangai Pambudi kemudian mengisi hari-hari Pambudi. Hubungan di antara mereka berlanjut bahkan hingga Mulyani melanjutkan studi di kampus yang sama dengan Pambudi.

***
Kisah tentang Pambudi dan Desa Tanggir, sebenarnya adalah kisah biasa. Konflik yang membalut di dalamnya lumrah kita temukan dalam kehidupan di desa. Tak ada yang istimewa. Juga soal Pambudi, Dirga, Sanis, Mbok Ralem, Mulyani, dan Barkah. Mereka (masing-masing) mewakili prototipe dan karakter sesosok manusia yang bisa lahir dan melata di muka bumi.

Tetapi di tangan Tohari, kisah biasa ini menjadi begitu menarik. Dengan apik, Tohari menggores babak demi babak rangkaian cerita ini. Tohari berhasil mengubah kisah yang sederhana, biasa, menjadi begitu berwarna. Juga alot.

Membaca novel ini, merasakan ada idealisme seorang Tohari. Secara konsisten, Tohari mengangkat tema tentang kehidupan desa. Bahwa desa tak hanya, sejatinya, adalah potret yang paling nyata tentang kehidupan, tetapi juga sekaligus menjadi bahan cerita yang amat menarik. Desa tak hanya soal padi yang menguning, kepolosan warganya, dan tak terjamahnya mereka oleh kemajuan teknologi, tetapi juga soal kemelaratan dan keterhimpitan yang berkelindan dengannya.

Juga yang menonjol dari Tohari adalah komitmennya untuk mengeksplor kebajikan dalam cerita-ceritanya. Tidak saja dalam novel ini, tetapi juga pada karya-karya Tohari yang lainnya. Nampak jelas Tohari membela kebenaran. Kemanusiaan. Dan wong cilik (kaum mustadafin). Nilai-nilai itu dijaga dan pertahankan Tohari dalam semua karyanya dan di sepanjang cerita yang ia bangun.

Bagi penikmat sastra, membaca karya Tohari yang ini—juga karya-karya Tohari yang lainnya—tidak saja penting; menghadirkan buncah “kenikmatan batin” di balik kesederhanaan ceritanya. Tetapi juga oase bagaimana harusnya kita menegakkan hidup. Bagaimana kita menghadirkan laku hidup dalam pendar kebenaran.

(Di atas ketinggian 10 ribu kaki, antara Palu dan Makassar, 10 April 2019)

0 Viewers