Saya termasuk orang yang sangat menikmati karya-karya Eka Kurniawan. 

Semenjak pagi, saya mendaras kumpulan cerpennya yang diberi judul: "Cinta Tak Ada Mati". Salah satu cerpennya yang menggelitik saya adalah: “Surau”. 

Cerpen ini sesungguhnya hendak mengangkat peristiwa yang sederhana. Remeh-temeh. Biasa kita temui dalam kehidupan sehari-hari. 

Seseorang yang karena hujan terlempar ke sebuah surau. Peristiwa yang sungguh biasa. Adalah sering kita mengalami peristiwa begini: ditampar hujan berkali-kali untuk kemudian meminggir. Mencari tempat berteduh. 

Tetapi bukanlah Eka jika ia tak berhasil mengolahnya menjadi sebuah cerita yang menarik. Seseorang itu, yang terlempar di sebuah surau, dikisahkan oleh Eka mengalami konflik batin yang berdarah-darah dengan dirinya sendiri. Ia dihukum oleh masa lalu. 

Seseorang itu dipaksa untuk melakukan refleksi terhadap berbagai peristiwa masa lalunya dengan surau. Ia ingat betul bagaimana kala kecil ia mengaji, salat, dan bermain-main di surau itu. Saban hari, hingga fasih menggumamkan ayat-ayat Alquran, ia melewatinya di surau itu. Acap terlambat, atau keasyikan bermain hingga alpa ke surau, ia niscaya dipukuli ayahnya.

Seseorang itu, baru setelah terlempar di surau itu menyadari betapa telah lama ia tak salat lagi. Penyesalan pun datang mencekiknya. Memukulinya tanpa ampun. Pesan ayahnya pun mengaung-ngaung di telinganya: hanya lima menit untuk sekali salat. 

Tetapi hasrat itu datang dengan maju-mundur-maju-mundur. Berulang-ulang. Entah kenapa, walau terus dihajar penyesalan, kakinya tetap kaku untuk melangkah ke tempat wudu. Bahkan hingga Ma Soma—guru mengajinya dulu yang kini telah tua renta—telah usai melaksanakan salat, ia juga tak beranjak masuk. 

Puncaknya, seseorang itu kemudian mengambil wudu. Lantas ia berdiri untuk salat. Tetapi secepat ia memaksa diri untuk salat, sekejap itu pula ia urung melaksanakannya. Ia pergi meninggalkan surau itu. Tanpa jadi mendirikan salat. 

Ia lupa bacaan salat, tulis Eka.

***
Benarlah kata Tere Liye bahwa kekuatan karya-karya fiksi itu terletak pada kekayaan perspektif. Sudut pandang. Juga diksi. Dari cerpen “Surau” ini, misalnya, nyatalah kepiawaian seorang Eka Kurniawan. 

Betapa berlembar-lembar halaman, berpanjang-panjang kalimat, beratus-ratus diksi, muncrat hanya untuk menjelaskan satu peristiwa, yang sebenarnya, sederhana saja: seseorang yang terlempar di sebuah surau. Teringat masa lalunya. Berniat hendak menegakkan salat. Tapi, sayangnya, ia telah lupa bacaan salat.

Sesaat emosi kita digulung-gulung. Diaduk-aduk selama beberapa menit—untuk ukuran normal membaca—oleh sebuah peristiwa biasa yang diceritakan kembali oleh Eka.

Jika hendak dituliskan peristiwa itu seringkas di atas. Bahkan tak cukup satu paragraf. Atau jika diperluas, pun genap terjelaskan dengan satu paragraf saja.

Tetapi itulah kelebihan Eka.

Selain itu, Eka dikenal pula sebagai penulis yang surealis. Memadukan hal-hal yang tak nyata dengan yang nyata. Ini misalnya, terlihat jelas dalam novelnya “Cantik itu Luka” atau karya-karya Eka yang lainnya.

Dalam novel “Cantik Itu Luka”—novel yang sejauh ini menjadi masterpiece Eka dan telah diganjar dengan World Reader Award 2016 serta diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa—Eka bertutur soal seorang perempuan yang bangkit dari kuburnya setelah berpuluh-puluh tahun sebelumnya telah dinyatakan meninggal. Ia bernama Dewi Ayu. Seorang pelacur the best di zaman kolonial.

Sepintas, cerita ini tak masuk akal. Mana mungkin ada orang yang sudah meninggal bisa hidup kembali. Berpuluh-puluh tahun yang lalu pula. Tetapi oleh Eka kita dibuat percaya dengan semua itu. Eka seolah hadir dan hendak menyatakan: di antara semua dalih ketidakpercayaan kita terhadap cerita orang bangkit dari kubur, yakinlah bahwa kisah Dewi Ayu ini benar-benar terjadi. Dan sialnya, kita percaya dengan tutur Eka itu. Atau malah menikmatinya.

Sepanjang bacaan saya, karya-karya Eka selalu padat dengan kritik sosial. Tak ada cerita yang berdiri tunggal sebagai sebuah cerita. Ia selalu memuatinya dengan kritik atas keadaan sosial. Entah itu keserakahan, kezaliman, kemunafikan, kesewenang-wenangan, dan lain sebagainya. Tetapi selalu satire.

Dalam “Cinta itu Luka”, misalnya, Eka hendak menguak bagaimana praktek perbudakan seks berkelindan-rapat dengan kolonialisme. Perbudakan seks adalah sisi kelam yang tak terelakkan dari kolonialisasi.

Tetapi sebagaimana khas Eka, ia tak akan mengumpat-ngumpat kolonialisme sebagai sebuah kejahatan satu bangsa terhadap bangsa lain. Atau mengonstruksi sosok Dewi Ayu sebagai wanita korban penjajahan seksual yang kemudian bangkit menenteng senjata melawan kaum penjajah.

Sosok Dewi Ayu tetap digambarkan sebagai pelacur yang konsisten hingga akhir hayatnya. Ia hanya mau menukar tubuhnya dengan lembar rupiah. Selain itu, tidak. Bahkan tidak pula cinta.

Eka, melalui karya-karyanya, telah menunjukkan kelas sebagai generasi sastrawan baru Indonesia yang tidak saja ciamik dalam mengadon cerita—yang karenanya kita menjadi begitu menikmatinya—tetapi memungkinkan karya-karya sastra Indonesia kini bisa dinikmati lagi oleh masyarakat dunia.

Sesuatu yang telah lama raib dari kita.

0 Viewers