Hari ini, 5 Februari 2025, HMI genap berusia 78 tahun. Ada yang tak pernah dibayangkan oleh Lafran Pane ketika 78 tahun yang lalu mendirikan HMI: HMI bertumbuh menjadi organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia dengan jumlah kader yang mencapai jutaan jiwa.

Sebagai organisasi dengan jumlah kader yang terbilang amat banyak, tidak heran kemudian alumni HMI—mereka yang telah melewati masa-masa perkaderan dan perjuangan di HMI—menduduki aneka posisi strategis di pelbagai sektor kehidupan. Terutama di sektor pemerintahan, HMI terhitung menjadi penyuplai terbanyak dibanding organisasi kemahasiswaan lain. Dan itu berada di semua level, baik itu di tingkat nasional maupun daerah.

Dalam pidato pembukaan Kongres XXXI HMI pada 17 Maret 2021, mantan Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa kabinetnya dipenuhi oleh alumni HMI. Ia kemudian menyebut nama-nama alumni HMI yang masuk dalam jajaran pemerintahannya (www.klikers.id).

Situasi ini tentu saja membawa konsekuensi pada kian beratnya beban yang dipanggul oleh HMI. Di antara sekian banyak beban itu, saya hendak menujukan titik kisarnya pada dua hal—sebab perihal ini, dalam amatan saya, hingga kini masih problematik dan susah diurai.

Pertama, bagaimana relasi yang tepat antara HMI dan alumni. Sederhananya, bagaimana HMI memosisikan diri di tengah ‘panggung kekuasaan’ para alumni. Ada dua kecenderungan yang, mungkin, atau selama ini terjadi: 1) Hilangnya kritisisme—atau bahkan independensi HMI. Kita tahu persis, HMI kadang tak berdaya di hadapan para alumninya. Prinsip dan nilai (value) independensi yang dalam konstitusi HMI menjadi payung bagi kader dan HMI secara organisasional di dalam bersikap, tinggal lipstik sahaja. Dijajakan di setiap training dan pidato-pidato formal HMI, tetapi sepi dalam amal lapangan. 

Ada banyak fakta yang menunjukkan bagaimana kuasa alumni HMI dalam memengaruhi proses alih kepemimpinan di HMI—mulai dari tingkat Kongres hingga Konfercab, mengintervensi sikap dan respons HMI terhadap situasi eksternal (negara dan bangsa) hingga mendikte apa yang mesti dilakukan oleh HMI—dan mana yang tidak boleh.

2) Sebagai akibat lanjut dari hilangnya kritisisme, atau mungkin juga kian beratnya tantangan kehidupan di dunia nyata yang dihadapi oleh kader-kader HMI, menjadi susah untuk terhindar dari tarikan pragmatisme. Ini semacam simbiosis mutualisme. Di satu sisi, alumni HMI membutuhkan kader-kader HMI sebagai bahan bakar untuk mengakselerasi dan menjaga kekuasaannya, dan sisi lain, kader HMI membutuhkan alumninya sebagai katrol untuk berkiprah. 

Kondisi ini kemudian berdampak petaka: Lahirnya (banyak) kader-kader HMI yang karbitan. Belum matang usia perkaderannya sudah ikut-ikutan terlibat dalam kegiatan politik praktis bersama alumninya. Baru membaca satu atau dua judul buku, mengikuti satu atau dua diskusi, baru usai Basic Training (LK-I) sudah merasa handal. Dan lebih sial lagi, menganggap bahwa semua aspek itu sudah tidak penting.

Eksistensi HMI dan kadernya diukur pada capaian yang bersifat struktural-kekuasaan ketimbang peran-peran kultural. 

Kedua, bagaimana HMI menjadi rumah yang nyaman bagi semua. Artinya, HMI menjadi candradimuka yang tepat bagi semua bakat, minat, dan potensi kader. Di samping problem tarikan pragmatisme yang kian kencang di HMI, desain struktur organisasi HMI yang terlalu political oriented juga turut menjadi masalah tersendiri. 

Sejak lama kita menggelisahkan itu. Keberadaan lembaga-lembaga kekaryaan tidak mendapat porsi yang cukup sebagai kanal bakat, minat, dan potensi kader. Daya tampung HMI ‘terbatas’ pada kader-kader yang berkarier di jabatan-jabatan struktural/politik HMI, mulai dari Komisariat hingga Pengurus Besar.

Padahal, lembaga-lembaga kekaryaan harusnya menjadi wadah di mana kader-kader HMI bisa meniti karier profesionalnya—berdasarkan kompetensi dan minatnya. Misalnya, kader HMI yang memiliki kecenderungan untuk menjadi ilmuan. Ia bisa terlibat dan berkarier di Lembaga Riset HMI. Di luar, kompetensi kader HMI yang berkarier di Lembaga Riset diakui, atau ketika hendak menempa diri menjadi ilmuan, ia tidak perlu mencari di tempat lain karena Lembaga Riset bisa menjadi titik pijak yang qualified.

Syafinuddin Al-Mandari, Ketua Umum PB HMI Periode 2001-2003, dalam percakapan di sebuah WAG menyatakan kekagetannya ketika bertemu dengan salah satu kader HMI. Ketika ditanya giat apa yang sementara dilangsungkan, kader tersebut dengan bangganya memamer pose dirinya bersama dengan alumni-alumni HMI yang sedang berkibar di panggung politik nasional.

Bagi Syafinuddin ini bukan tak boleh. Sebab, dalam bagan perkaderan HMI, membangun jejaring (networking) juga adalah bagian dari proses perkaderan—apalagi itu dengan alumni. Tetapi sekadar mengandalkan kedekatan dengan alumni sebagai alat mobilitas vertikal pula tidak tepat. 

Era 5.0 ke depan membutuhkan lebih dari itu. Tantangan yang dihadapi oleh kader dan alumni HMI makin kompleks. Butuh kompetensi diri yang berbasis pada penguasaan interdisipliner ilmu sebagai bekal untuk menyongsongnya. Dengan kata lain, tradisi intelektual yang berakar pada sumur perennis HMI perlu digali kembali. 

Di samping itu, memanfaatkan (sekadar) kedekatan dengan alumni HMI sebagai alat mobilitas vertikal tidak baik bagi pendidikan bangsa. Kita pernah dihantam oleh badai isu “HMI Connection” di balik aksi pemakzulan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kala menjadi Presiden. Hingga kini istilah itu ditangkap oleh publik sebagai sesuatu yang bersifat peyoratif—daripada positif.

***

Usia HMI kini sudah 78 tahun. Tentu tak mudah memanggul semua beban yang mendekap tubuh HMI. Bopeng-bopeng yang melekat harus dilepas, sebab sejarah HMI harus ditulis dengan tinta kebajikan.

HMI adalah rumah banyak orang. Rumah banyak mahasiswa muslim yang tidak hanya menaruh harapan yang melangit terhadap dirinya, tetapi juga bangsanya. Memperbaiki bangsa ini harus dimulai dari memperbaiki HMI; menjaga HMI dari potensi distorsi nilai, dan defisit intelektualisme.

Harus ada keberanian untuk memutus semua celah yang bisa merusak HMI—atau menggeret HMI pada kemunduran. Dalam kaitan dengan alumni harus ada relasi yang lebih proporsional. HMI mutlak dijaga untuk tetap berada pada truck-nya sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan. 

Artinya, harus ada kerelaan untuk membiarkan HMI tampil dengan kritisismenya. Bukankah di antara alasan Lafran Pane mendirikan HMI adalah karena keprihatinannya; kritisismenya, terhadap situasi kemahasiswaan, keindonesiaan, dan keumatan di masa lalu?

Adalah tak bijak mengendarai HMI untuk kepentingan personal alumni. HMI bagaimanapun harus diletakkan sebagai sesuatu yang lebih besar dari individu mana pun. 

Juga kader-kader HMI. Mutlak ada kesabaran untuk melalui proses. Tak ada yang instan. Apalagi potong kompas. Semua butuh perencanaan, juga bekal. Keris untuk bisa menjadi senjata yang mematikan, butuh penempaan yang tidak biasa. Sebab, jika tidak, ia tak lebih dari seonggok besi yang tidak bermanfaat apa-apa.

Terakhir, kita pernah melahirkan tokoh sebesar Achmad Tirtosudiro, Nurcholish Madjid, Amien Rais, Dawam Rahardjo, Sulastomo, Azyumardi Azra, Jalaluddin Rakhmat, Harry Azhar Aziz, Akbar Tanjung, Jusuf Kalla, Abdullah Hehamahua, dan lain sebagainya. Dari rahim perkaderan HMI kemudian mereka bergerak: Menoreh tinta untuk bangsa. 

Mereka dengan kompetensi yang dimiliki menancap ikhtiar untuk membangun Indonesia. Memang tidak semua menjadi kemudi. Atau sekoci yang membawa sebagian kecil penumpang pada pulau keselamatan. Ada di antara mereka yang memilih menjadi muazin: Menjadi pengingat bagi siapa pun yang memegang kendali negara agar tetap lurus. 

Mereka ibarat puzzle, sekrup kecil, yang saling melengkapi dalam bangunan besar bernama Indonesia. Tanpa salah satunya, Indonesia pasti kehilangan arah. 

Pada merekalah harusnya cermin-diri ke-HMI-an kita sandarkan. Integritas harus kita kedepankan, intelektualisme harus dibangkitkan, soliditas harus dikukuhkan, agar apa yang dititip oleh publik kepada HMI bisa diwujudkan. 

HMI tetap menjadi apa yang diutarakan oleh Panglima Besar, Jenderal Soedirman: Harapan Masyarakat Indonesia.

ITHO MURTADHA--Ketua Umum HMI Cab. Palu Periode 2003-2004.

0 Viewers