Jika ada penulis esai yang paling saya kagumi, itu tidak
lain adalah GM. Goenawan Mohamad.
Menulis secara konsisten setiap minggu selama kurang
lebih 40 tahun untuk kolom "Catatan Pinggir" di Koran Tempo, tentu
bukanlah perkara mudah. Tidak saja soal memulung ide, menyulam kalimat, atau
memuncratkan pendapat, tapi juga berkaitan dengan disiplin diri.
Kita, atau bahkan saya sendiri, menulis secara
mood-moodan. Kalau lagi mood menulis. Kalau lagi tidak mood—atau lagi diamuk
tuntutan kebutuhan hidup sehari-hari—maka rehat
menulis.
Konon, Orhan Pamuk, novelis asal Turki/pemenang Hadiah
Nobel Sastra tahun 2006, memiliki jadwal menulis yang ketat. Setiap hari,
secara rutin, ia menghabiskan waktu selama 8 jam untuk menulis. Atau
Kuntowijoyo, yang setelah didera oleh penyakit dan tinggal bisa menggerakkan
satu jari tangan kanannya, masih konsisten menulis hingga ajal menjemputnya.
GM dalam suatu sesi wawancara dengan penerbit BasaBasi,
kendati menampik memiliki disiplin menulis seketat Orhan Pamuk dan lainnya, tak
memungkiri bahwa Tempo memiliki peranan yang amat besar dalam mendisiplinkan
dia untuk menulis tiap minggunya.
Bagi saya, GM adalah penulis yang 'terang'.
Keberpihakannya terhadap suatu isu atau pendapat selalu tegas. Ia tak pernah
bermain pada wilayah tengah.
Atau normatif. Ia akan membela suatu pendapat secara total, dan sebaliknya,
menghabisi pendapat yang lain dengan total pula.
GM, memang, kadang sarkas.
Suatu ketika ia bisa membela habis-habisan sains sembari
mencibir agama, atau mendakwa modernisme sambil terbahak-bahak dengan
posmodernisme. Ia bisa mengutuki ortodoksi dan kedunguan rezim pikiran tanpa nalar sambil memuja-muji rasionalitas.
Ia bisa menertawakan laku agama yang semata berorientasi surga dan neraka
sembari, di
sisi lain,
menunjuk: bahwa tugas pokok kita adalah menukangi kehidupan ini agar lebih
baik. Surga dan neraka adalah perkara kemudian.
Selain itu, kelihaian dalam memilih diksi adalah khas
GM. Ia bisa memainkan kata-kata dengan lincah. Kalimat-kalimatnya bisa mengular
dengan cantik. Penuh luapan emosi, metafor, kejutan, namun kadang berlimpah ketegangan dan ironi.
Tulisan GM selalu hidup.
Inilah yang membuat tak jarang orang mengkritik GM. GM
dianggap terlalu tenggelam dalam permainan kata sementara lupa akan kedalaman
gagasan. GM tak pernah mengeksplor suatu isu atau gagasan secara serius dan
detail.
Padahal, jika kita membaca esai-esai GM, kita akan
menemukan kekayaan pengetahuan GM yang membentang luas. Ia bisa menyeberangi
samudra satu ke samudra lainnya untuk sekadar menyapa bangunan dan tradisi
pengetahuan yang tengah berkembang di sana. Atau, ia bisa mendatangi masa lalu,
untuk membawa segala jejak-peninggalan pengetahuannya ke masa kini.
Salah satu, kumpulan esai GM yang saya jatuh cintai
adalah "Tuhan & Hal-Hal yang Tak Selesai". Buku ini memuat 99
esai amat pendek. Esai ini menurut GM, sebagaimana ia ucap dalam prakata,
"adalah semacam percikan. Mereka terkadang bisa dibaca sebagai bagian yang
saling mendukung atau saling membantah, terkadang bisa dibaca sebagai tulisan
yang berdiri sendiri-sendiri."
Di halaman 75, pada esai ke-46 ia menulis dengan sendu. Mari saya kutipkan:
"Republik yang terbaik adalah sebuah sejarah
kesabaran. Tapi ini juga sebuah republik yang tak gilang gemilang. Ia membuka ruang
bagi kata-kata yang menakutkan, yang penuh benci, yang aniaya—sebagai bagian dari pengakuan bahwa ada mala yang
dekat dalam hidup.
Tentu ada juga suara yang menggugat semua itu. Di pagi
hari akan selalu ada sepasang mikrofon yang hangus."
GM, memang selalu
memikat!
0 Viewers
0 Comments
Posting Komentar