Bersiap: Revolusi (mungkin) akan terjadi besok pagi!

Selepas membaca epilog buku "Suara Rakyat Suara Tuhan", yang ditulis oleh Hendri Teja, dkk, yang berjudul Revolusi Sosial Tanpa Pemimpin, saya bagai tersengat. Betapa deskripsi soal ancaman terjadinya revolusi sosial begitu 'dekat' dengan kita.

Musababnya adalah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Dunia tengah berubah dengan cepat. Sangat revolusioner. Kita tengah memasuki era yang oleh banyak orang disebut sebagai era 4.0. Era yang menjungkirbalikkan segalanya. Tidak terkecuali gerakan sosial.

Revolusi sosial—yang (mungkin) bagi sebagian orang itu adalah cita-cita, dan bagi sebagian lainnya adalah 'kematian'—bisa datang kapan saja. Menggelombang. Kuat. Dan menghantam apa saja. Ia boleh jadi datang hari ini. Boleh jadi, besok. Dan boleh jadi pula, lusa. Yang jelas, ia bisa menyeruak dengan tiba-tiba. Unpredictable.

Juga soal karakter, model, medium, dan penggeraknya. Kenyataan hari ini sungguh jauh berbeda dengan masa lampau. Teori-teori perubahan sosial yang pernah kita dapatkan di bangku kuliah atau baca dari buku, rasanya tak relevan untuk memotret situasi hari ini. Ada banyak dampak dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang telah mengubah secara drastis tatanan kehidupan global.

Pendapat Lama

Sampai beberapa waktu yang lalu, ketika diminta untuk menjelaskan faktor-faktor penentu terjadinya perubahan sosial (baik itu di seminar, diskusi, ataupun lainnya), saya masih suka merujuk ke pendapat Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya "Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar?"

Dalam bukunya itu, Jalaluddin Rakhmat menyebut ada 3 variabel penentu perubahan sosial. Yang pertama, ide-ide agung (grand ideas). Kedua, manusia-manusia besar (great individuals). Dan ketiga, gerakan sosial (social movement).

Pendapat Jalaluddin Rakhmat ini mengacu kepada banyak peristiwa perubahan sosial yang terjadi di dunia. Nabi Muhammad SAW, misalnya, disebut sebagai tokoh besar yang telah menyebabkan terjadinya perubahan sosial di tanah Arab dan memungkinkan Islam, agama yang dibawanya, kini dianut oleh bermiliar-miliar penduduk dunia.

Alquran, dan sejumlah kitab suci lainnya, adalah sekumpulan ide-ide agung (yang bersumber dari Mahaagung) yang telah pula menyebabkan terjadinya perubahan sosial. Max Weber—pendiri mazhab sosiologi humanistik—adalah salah satu tokoh yang setuju dengan pendapat ini. Ia menyatakan: superstructure, belief system, ideology adalah faktor yang sangat aktif dan efektif dalam mengubah sejarah (Rekayasa Sosial..., hal. 105).

Begitupun dengan gerakan sosial. Reformasi 1998 di Indonesia, Revolusi Iran tahun 1979, Revolusi Kuba tahun 1959, adalah sebagian dari contoh bagaimana gerakan sosial mengambil peran yang strategis dan vital dalam mendorong terjadinya perubahan sosial di suatu negara. Di sini, elemen masyarakat sipil (civil society) yang kuat dan terkonsolidasi menjadi penentu bisa tidaknya perubahan sosial itu diledakkan.

Tanpa Tokoh

Sayangnya, buku Jalaluddin Rakhmat—karena ditulis saat usia reformasi masih begitu belia; masih satu tahun—tak sempat memotret perkembangan dunia satu dasawarsa terakhir. Oleh karena itu, kemunculan gejala sosial baru, berupa simulakrum, sebagaimana diintrodusir oleh Jean Baudrillard, luput dari tilikan buku ini.

Dunia baru adalah dunia di mana kita hidup tidak hanya pada hal-hal yang nyata (riil) tapi juga tiruan, imitasi, 'tak-nyata' (simulakra). Masyarakat yang terbangun tak sekadar yang tampak tapi juga hiper (hyper-society). Masyarakat-hiper adalah masyarakat yang dibentuk oleh teknologi media (cyber-society).

Munculnya cyber-society (masyarakat dunia-maya) telah memungkinkan terjadinya perubahan karakter, model, medium, dan aktor perubahan sosial. Dan itu sungguh tak terhindarkan.

Dulu, kita selalu mengasosiasikan revolusi Iran pada sosok Imam Khomeini, Murtadha Muthahhari dan Ali Syariati, Kemerdekaan Indonesia pada Soekarno dan Hatta, revolusi Kuba pada Fidel Castro dan Che Guevara, dan lain sebagainya. Kaus-kaus bergambar mereka diburu anak-anak muda. Foto-foto mereka dipajang dimana-mana. Mereka, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, telah menjadi simbol perubahan. Simbol perjuangan. Simbol anti kesewenang-wenangan. Mereka dipuja (menjadi idola) banyak warga dunia.

Dulu, gagasan-gagasan revolusioner disebar melalui buku, pamflet, buletin, dan medium lain. Diskusi dan training digelar guna menciptakan kader-kader yang revolusioner. Selama bertahun-tahun kekuasaan rezim Orde Baru, mahasiswa menyiapkan reformasi dengan berbekal itu semua. Berbekal buku, pena, dan diskusi.

Dulu, perubahan sosial berarti demonstrasi. Demonstrasi menjadi satu-satunya model penyaluran dan ekspresi kritis kaum pergerakan. Walau tak menampik peran pementasan seni, baca puisi, atau teater, tetapi secara umum model penyalurannya berada di panggung yang nyata (tampak).

Dulu, aktor penggerak perubahan sosial sudah pasti aktivis. Sudah pasti intelektual. Sudah pasti ideolog. Sudah pasti mereka yang kutu-buku, yang bermuka serius, yang miskin ketawa. Sudah pasti yang tak terurus dirinya—gembel. Sudah pasti yang hari-harinya dihabiskan dengan masyarakat; live in dan mengadvokasi kasus-kasus yang menimpa mereka.

Kenapa harus intelektual? Kenapa harus buku? Kenapa harus demonstrasi? Karena begitulah teorinya. Kalau kita hendak melakukan perubahan sosial siapkan semua prasyaratnya: ide, aktor kunci, dan gerakan massa (people power).

Tapi kini, dunia tengah benar-benar berubah. Dunia tengah menuju ke aras baru. Dunia, merontokkan segala pendapat lama. Dunia mengarah ke apa yang disebut Anthony Giddens sebagai Runaway World.

Kini, perubahan sosial tak mutlak digerakkan oleh sosok berjubah semisal Imam Khomeini, orator semisal Soekarno, revolusioner semisal Che Guevara, tokoh sejuk semisal Mahatma Gandhi. Kini semua bisa menjadi penggerak perubahan sosial. Seorang anak muda di pelosok negeri, dengan memanfaatkan media sosial, bisa juga menjadi penggerak perubahan sosial.

Mari kita ambil contoh. Dalam demo besar terakhir—menolak RUU KUHP dan revisi UU KPK—itu awalnya tidak digerakkan oleh tokoh-tokoh besar semisal Sri Bintang Pamungkas atau Budiman Sudjatmiko di saat reformasi. Ia awalnya digerakkan oleh pimpinan-pimpinan organisasi kemahasiswaan kampus, yang ketokohannya tidak setenar Budiman di zaman dulu.

Bahkan boleh jadi anonymous. Dengan menggunakan instrumen media sosial yang ada, seseorang bisa mengagitasi orang lain dalam skala yang massif, tanpa harus diketahui identitasnya. Dan kadang bahkan orang tak mau ambil pusing dari mana sumber semua itu. Juga orang yang dimaksud bisa bersembunyi di balik akun anonim yang mereka buat. Mereka bisa jadi tokoh 'tak nyata'.

Juga, karena menggunakan instrumen media sosial, maka memungkinkan penyebaran informasi dan agitasinya bisa lebih akseleratif dan luas. Seseorang yang memosting sesuatu di Aceh sana akan sampai detik itu pula di Maluku. Atau seseorang yang menyebar berita penghinaan orang-orang Papua di Surabaya, detik itu pula meledakkan kemarahan warga Papua di sejumlah tanah Papua.

Kini, kita juga menyaksikan bagaimana buku-buku itu raib dari kaum pergerakan. Boleh jadi karena e-book bertebaran dimana-mana. Diskusi face to face menjadi sepi, berganti dengan WhatsApp Grup (WAG). Seseorang bisa sangat dengan tajam mengkritik pemerintah melalui WAG sambil duduk-duduk manis menikmati secangkir kopi di warkop. Atau seseorang lain, bisa mengirim ide-ide revolusionernya untuk kemudian didiskusikan oleh anggota grup pada saat lagi mencium kening pacarnya.

Training tak lagi menjadi alat efektif untuk melakukan perkaderan. Orang bahkan bisa tetap mengasah kritisismenya walau kesehariannya hanya dihabiskan dari satu kafe ke kafe yang lain. Melimpah-ruahnya bahan bacaan dan informasi membuat seseorang (dimungkinkan bisa menjadi) kritis dan tajam dalam menganalisis suatu perkara sosial tanpa perlu harus ikut training.

Inilah era yang oleh banyak orang disebut sebagai posideologi. Era matinya ideologi. Training sepi karena menjajakan ideologi. Orang, kini bisa disatukan oleh sesuatu yang bukan bersifat ideologis. Isu saja misalnya. Banyak orang yang tergerak memperjuangkan satu tokoh, mengecam suatu peristiwa atau merespon suatu isu (baik itu lokal, nasional maupun internasional) tanpa harus hirau dengan platform ideologi masing-masing orang. Solidaritas orang terbangun tidak melalui forum-forum perkaderan—yang memakan waktu berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu—tetapi digerakkan melalui dunia maya.

Pun, kini, saluran ekspresi perjuangan tidak melulu melalui demonstrasi. Orang bisa melakukan protes terhadap sesuatu bahkan melalui media sosial saja. Melalui change.org, misalnya. Kita bisa membuat petisi, mengkritik, atau menggalang dukungan terhadap sesuatu dengan media itu. Atau dapat kita saksikan bagaimana efektivitas media sosial dalam bekerja; memengaruhi kebijakan Polri, sehingga mengubah keputusannya terhadap pemuda yang terpaksa membunuh seseorang karena membela diri.

Kini, perubahan sosial juga tidak an sich digerakkan oleh kaum aktivis. Kaum 'murung'. Semua bisa menjadi aktor dalam perubahan. Seorang pengusaha bisa menjadi penggerak perubahan yang efektif bila ia melek politik. Pun begitu, emak-emak yang mungkin lebih banyak menghabiskan waktu di dapur bisa menjadi penggerak perubahan sosial bila ia sadar politik. Kata kunci hari ini adalah: Kuasai informasi, dan ubahlah dunia.

Penutup

Begitulah dunia kini bekerja. Ia bekerja dengan logika yang tak disangka-sangka. Revolusi sosial bisa merambat dan kemudian menyergap rezim manapun, tanpa bisa diduga dan dikendalikan sebelumnya. Suatu masalah kecil bisa memicu gelombang protes yang dahsyat bila pemerintah (lokal maupun nasional) tak pandai mengelola isu.

Pemerintah—bila diberi amanah—mutlak cakap mengelola kepentingan publik. Negara harus hadir untuk mensejahterakan rakyat. Pemimpin harus turun tangan untuk mengubah tangis petani dan nelayan menjadi senyum. Keadilan harus nyata. Kebenaran tak boleh menjadi milik yang berkuasa saja.

Hanya dengan cara inilah badai revolusi sosial tak datang memukul kita. Jadi, berhati-hatilah!

(29 Februari 2020)

0 Viewers