Bila imaji, dan
harapan, adalah kebajikan; dan kenyataan, keseharian, adalah kejahatan: adakah
tulisan adalah jembatan bagi keduanya?
Malam ini, seusai
menamatkan Catatan Pinggir 12 (kumpulan tulisan Goenawan Mohamad), saya untuk
kesekian kalinya mengalami semacam pencerahan jiwa. Tetapi juga guncangan.
Tulisan Goenawan Mohamad yang kali ini dikompilasi—dan diterbitkan—oleh
Tempo Publishing, membeber aneka kenyataan, fragmen (juga fiksi) historis
sebagai kekayaan yang menarik untuk didialogkan. Selalu ada cara Goenawan Mohamad untuk mengumpul
semua itu, untuk kemudian membawanya ke teras kebenaran. Teras pencerahan.
Mari simak tuturannya:
“Kekuasaan mengurung orang dalam kesendirian, dan
terkadang mengutuknya dalam kesepian.” (Judul: Pemimpin, hal.
35).
Atau:
“…bagi mereka, ada yang mengancam keselamatan dalam
lembar kata-kata.” (Judul: Cacing, hal.
65)
Goenawan Mohamad —sebagaimana
tentu saja penulis lainnya—dalam tulisan-tulisan kompilatifnya di atas,
sebenarnya hendak berpretensi untuk menggelisahkan realitas. Ada keinginan kuat
untuk menunjuk kejahatan sebagai kejahatan. Kebenaran sebagai kebenaran.
Tetapi, berbeda dari penulis lainnya semisal Ali Syariati, Soekarno, atau Asghar
Ali Engineer, yang secara terang menunjuk kejahatan sebagai kejahatan, dan
me”lawan”kannya dengan kebenaran, Goenawan Mohamad tak demikian. Ia selalu samar. Ia selalu
bermain di ruang “kegelisahan”.
Goenawan Mohamad, mungkin karena
dipengaruhi oleh gaya bertutur posmo, selalu tak menarik garis demarkasi yang
tegas antara kejahatan dan kebenaran. Sesekali ia, bahkan, mengutuki kebenaran
sebagai kejahatan. Dan sebaliknya, memuja-muji kejahatan sebagai kebajikan. Ia
kerap “terlampau birahi” membolak-balik keduanya. Bukankah pada sebuah
tindak kejahatan sekalipun ada ibrah bagi orang-orang yang berpikir?
Demikian Goenawan Mohamad meyakininya.
Tetapi yang khas dari
Goenawan Mohamad adalah: ia—dalam semua tulisan-tulisan yang ia
wartakan, dalam semua tutur yang ia sebarkan—selalu menghindar untuk menggurui
pembacanya. Ia tak suka berceramah. Maka, bila dengan membaca tulisan-tulisan
Goenawan Mohamad, kita berharap mendapat kompas yang pasti bagi
kehidupan, yakinlah itu tak akan pernah kita dapatkan. Kebenaran tak selalu
diwartakan sebagai kebenaran oleh Goenawan Mohamad.
Tetapi, bagi saya, yang adalah penikmat Goenawan Mohamad, justru disitulah kekuatan tulisan-tulisannya. Ada kesamaran yang menggairahkan; ada kegelisahan yang membahagiakan—sejenis keraguan suci kaum filsuf, dalam tulisan-tulisan Goenawan Mohamad. Goenawan Mohamad adalah labirin ketidakpastian. Tetapi, itu mencerahkan.
***
Apa tugas sebuah
tulisan? Di masa lampau, di negeri
ini—sebagaimana juga disinggung oleh Hamid Basyaib dalam prolog buku ini—telah
terjadi silang-pendapat soal tugas sebuah tulisan.
Sutan Takdir Alisjahbana
(STA) berangkat dari kredo “sastra bertendensi” meyakini sastra—juga tentu saja tulisan, mutlak
terlibat dalam masalah-masalah yang dihadapi masyarakat; bahkan diharapkan
memberi solusi atas problem-problem itu. Sementara Goenawan Mohamad menolak
pembebanan berlebihan dan tak pada tempatnya terhadap pundak sastra dan
kesenian pada umumnya (baca hal. xi).
STA, sebagaimana Ali
Syariati atau Soekarno atau Asghar Ali Engineer atau yang lain, hendak
mengembangkan tulisan sebagai kritik sosial. Sebagai alat kontrol atas
kekuasaan. Kekuasaan tak saja harus diawasi, tetapi juga harus dikritik.
Kekuasaan hanya bisa adil dengan kritik. Tanpa kritik, kekuasaan tak lebih dari
sekadar “arena pertarungan ambisi” pribadi. Dan itu, pasti berakhir
dengan penyimpangan.
Saya kira, saya
sependapat—tepatnya membebek—dengan Goenawan Mohamad. Sastra—juga tulisan, tak perlu diframe untuk
berorientasi pada tujuan tertentu. Ia harus diposisikan sebagai kanal ekspresi
personal. Bahwa, misalnya, kemudian ia meledak sebagai peringatan sosial itu
perkara lain. Tulisan harus diletakkan seluas-luasnya sebagai medium untuk
mengungkap “isi hati”. Tulisan harus hadir, secara merdeka, untuk mewakili
kegelisahan semua orang. Pikiran semua orang.
Di Iran, dalam semangat
religioisme yang membara, munculnya kemarahan dan fatwa mati Imam Khomeini
terhadap Salman Rushdie pada tahun 1989, juga dilatari oleh soal ini: apakah
sastra—juga tulisan, itu bebas nilai atau tidak? Bagi Khomeini, tulisan; apa pun
itu bentuknya, mutlak sarat nilai. Ia harus menjadi medium penyampai kebenaran.
Oleh karena itu, tak ada alasan untuk bersenda-gurau pada wilayah ini.
Kebenaran harus disampaikan sebagai kebenaran. Itu tegas.
Jadi, bahkan ceruk kegelisahan tak diberi tempat dalam pandangan Khomeini. Apalagi tindakan mempertanyakan. Juga kritisisme. Dan sinisme. Novel “Ayat-Ayat Setan (The Satanic Verses)” karya Salman Rushdie mengundang kemarahan Imam Khomeini karena menabalkan sinisme yang terlampau menyakitkan bagi agama (Islam). Sementara bagi Salman, karya sastra pure adalah karya sastra. Ia harus netral. Ia harus dijauhkan dari prasangka-prasangka, jejalin emosionalitas, dan subyektivitas penganut agama. Sastra yang merdeka adalah sastra yang bebas “meninju” apa saja. Tidak terkecuali sublimitas agama.
***
Saya yang telanjur
mengagumi Goenawan Mohamad —walau juga saban waktu mencecap
pikiran-pikiran Khomeini—menjadi tak bisa menghindar dari mengikuti “jalan”nya.
Saya menjadi penyuka mazhab ketidakpastian. Kebinalan menjadi laku
berpengetahuan. Segala sesuatu hanya bisa diyakini dengan mempertanyakannya.
Tanpa itu, berpengetahuan tak lebih dari sekadar formalisme berkedok ilmiah.
Berbaju akademik.
Orang bilang, inilah
yang namanya: liberal. Posmo. Sesat. Atau jahil. Kebenaran (dan agama secara
universal) adalah sesuatu yang diyakini. Ia dibangun di atas fondasi keyakinan.
Bukan yang lain. Sementara bagi saya, kebenaran (dan tentu saja: agama)
dibangun dengan fondasi pengetahuan. Tak ada keyakinan tanpa pengetahuan. Tak
ada kebenaran (dan agama) tanpa pengetahuan. Sementara, pengetahuan adalah
tindakan mempertanyakan.
Saya meyakini adanya
subjek yang otonom dalam berpengetahuan. Tak ada “diri yang otoritatif”. Bahkan
juga dalam perkara (tafsir) keagamaan. Oleh karena itu, saya membaca (dan
mengoleksi) banyak buku. Sebagian berwarna agama dalam makna tradisional,
sebagian memuat kritik sosial, sebagian memuat kegelisahan, sebagian memuat
kritik atas agama, dan lain sebagainya. Bahkan novel-novel lain Salman
Rushdie—selain Ayat-Ayat Setan (karena memang belum ketemu)—saya baca.
Boleh jadi ini adalah
takdir. Atau juga ketelanjuran yang intim. Bertemu dengan banyak orang, banyak
tulisan; yang progresif, menjadikan saya telanjur menikmatinya. Tulisan-tulisan
saya pun mengalir dalam spektrum yang tak biasa. Ada gugatan, ada kemarahan,
ada protes. Di satu sisi. Tetapi di sisi lain, ia juga berpretensi hadir untuk
melakukan pembelaan, pemihakan. Kadang ada kegetiran, ketidakyakinan,
ketidakpercayaan, sinisme, di dalamnya. Tetapi kali lain, ia juga menjelma
optimisme, harapan, dan masa depan. Semua itu membentuk warna tulisan saya.
Saya—sebagaimana
Goenawan Mohamad—percaya bahwa: biarlah tulisan mengalir
sebagai tulisan. Tak perlu ada pretensi lain. Tak perlu ada pembebanan lain.
Biarlah ia hadir sebagai kuncup kehidupan, yang kelak akan digunakan oleh
makhluk melata di atasnya sebagai apa, itu terserah mereka. Tulisan harus
terbebas dari semua itu.
Jadi, kalau ada yang
bertanya: tulisan untuk apa? Saya pasti akan menjawab: bahwa
penting adanya orang-orang yang menulis untuk kebenaran secara benderang iya,
tapi mungkin itu bukan saya. Saya, kendati adalah pengagum Khomeini,
pengagum ulama lain, tapi saya tetap adalah saya. Saya telanjur menikmati
labirin ketidakpastian. Saya adalah penyuka Syariati, penyuka Marx, penyuka
Mohammed al-Jabiri, penyuka Arkoun, penyuka Rumi. Juga Foucault, Nietzche,
Baudrillard, Derrida. Dan lain-lain.
Entahlah!
Saya hendak menulis atas nama saya sendiri.
(1 September 2019)
0 Comments
Posting Komentar