Jika Tuhan adalah Mahakasih, mengapa agama justru menyeru kepada kekerasan? Jika Tuhan adalah sumber kehidupan, mengapa ada banyak orang yang justru membunuhi orang lain?

20 November 2018. Bom tetiba saja meledak di sebuah masjid di Kabul, Afghanistan. Insiden yang terjadi tepat pada momentum, atau sengaja menyasar, umat Islam yang tengah merayakan Maulid Nabi Muhammad Saww itu, adalah peristiwa teranyar yang bisa kita bukukan dari serangkaian peristiwa kekerasan atas nama (pemahaman) agama. Tak kurang dari 50 orang jamaah tewas pada insiden itu.

Sebelumnya, juga kita bisa menemukan banyak catatan tentang kekerasan atas nama (pemahaman) agama. Yang paling banyak adalah konflik antara Sunnah dan Syiah. Perbedaan pandangan pada kedua mazhab ini, tidak saja memunculkan saling-stempel sesat dan kafir, tetapi juga sekaligus men-declare praktik kekerasan sebagai sesuatu yang absah untuk dilakukan, demi membela (pemahaman) agama. Belum lagi terhadap sekte-sekte lain. Ahmadiyah, misalnya.

Itu di intra-Islam. Di luar, dalam relasinya dengan berbagai agama, Kristen misalnya, Islam juga tak pernah lepas dari konflik. Sebut contoh di tanah air. Ada banyak kejadian yang menunjukkan betapa kekerasan dan serangan terhadap gereja dan warga Kristen nyata terjadi. Sebaliknya, dalam kesempatan lain, tidak sedikit pula terjadi insiden serangan (verbal) warga Kristen terhadap Islam.

Di Rohingnya, Myanmar, kasus kekerasan terhadap warga minoritas Muslim, hingga kini belum usai. Lanjut, tahun 2017 kemarin, di Sri Lanka juga pecah konflik antara warga Buddha (yang mayoritas) dengan warga Muslim (yang minoritas). Warga muslim melaporkan, tidak sedikit rumah warga dan masjid yang terbakar pada insiden itu.

Di India, konflik antara warga Muslim (yang minoritas) dan warga Hindu (yang mayoritas) terjadi hampir di sepanjang waktu. Ada yang letupan dan eksesnya besar, hingga jadi berita internasional. Ada pula insiden-insiden kecil yang luput dari perhatian masyarakat dunia.

***
Mengapa praktik kekerasan atas nama agama, terus berulang? Mengapa Masjid, Gereja, Kuil, Wihara; tempat suci; tempat kita “menghadap” Tuhan, justru (acap dipakai) menjadi pusat menyemai kekerasan? Mengapa kesalehan seseorang secara ritual, berbanding lurus dengan benih kebencian kepada manusia atau kelompok yang berbeda (the other)?

Nurcholish Madjid (dalam Nurcholish Madjid, dkk. Passing Over: Melintasi Batas Agama), mensinyalir praktik kekerasan intra atau antaragama dipicu oleh kentalnya doktrin keselamatan yang dianut oleh masing-masing sekte, mazhab, atau agama. Semua sekte, mazhab, atau agama menyatakan bahwa sekte merekalah, mazhab merekalah, atau agama merekalah yang paling benar (claim of truth). Tidak ada yang lain.

Situasi ini diperparah bila spirit pluralisme tidak hadir dalam kehidupan sosial. Sejauh ini, penentangan terhadap pluralisme disebabkan oleh adanya asumsi bahwa: bersikap toleran terhadap agama lain, berarti mengakui kebenaran agama yang lain itu. Padahal, bersikap toleran dan mengakui kebenaran agama yang lain adalah dua sisi yang berbeda.

Bersikap toleran adalah respon terhadap situasi eksternal; terhadap keberbedaan. Sementara pengakuan kebenaran adalah penghayatan dan persetujuan secara sadar dan intelektual atas realitas kebenaran agama yang lain. Dengan kata lain, bersikap toleran adalah bersifat ekstrinsik; wajah “pluralisme-ekstrinsik”. Sementara pengakuan kebenaran adalah model “pluralisme-intrinsik”.

Memang terdapat sejumlah cendekiawan yang menganut model “pluralisme-intrinsik” ini. Huston Smith misalnya. Ia membagi dimensi agama menjadi dua: dimensi eksoterik dan dimensi esoterik. Dimensi eksoterik adalah dimensi luar, artifisial, wadah, dari sebuah agama. Perbedaan antar agama terdapat pada wilayah ini. Tetapi, pada dimensi esoterik; dimensi terdalam, substansi, inti, semua agama adalah sama. Bahwa semua agama adalah jalan penyerahan kepada Tuhan. Bahwa semua agama bertemu pada Tuhan yang satu.

Tetapi pandangan Huston Smith ini, bukanlah pandangan mayoritas penganut agama. Tidak sedikit—atau malah hampir semua—penganut agama menolak pandangan tersebut. Keberatan ini wajar. Agama mana yang mau disebut lebih rendah dari, atau tidak sesempurna, agama yang lain? Tetapi dalam konteks kehidupan sosial, kita harus menyadari, bahwa kita butuh pluralisme. Ini penting untuk dicatat. Kita butuh kesadaran akan keberagaman. Butuh adanya pengakuan, bahwa realitas perbedaan adalah sunnatullah. Sesuatu yang niscaya, dan tak dapat kita tolak.

Sederhananya, bila kita susah mengamalkan praktik “pluralisme-intrisik”, paling tidak, kita bisa mengamalkan “pluralisme-ekstrinsik” dalam kehidupan sosial sehari-hari.

Harmoni sosial (hanya) dapat tercipta bila ada kesadaran itu. Lebih sublim lagi, harmoni sosial adalah fundamen yang dibangun di atas pengakuan bahwa kemanusiaan jauh lebih penting dari agama; bahwa kemanusiaan melampaui sekte-sekte, mazhab, dan agama. Harmoni sosial adalah adanya penghayatan bahwa membunuh satu manusia (yang tidak berdosa) sama dengan membunuh semua manusia. Membunuh manusia sama dengan mengubur kemanusiaan.

Minus Tuhan

Realitas kekerasan atas nama sekte, mazhab, dan agama, terhadap sekte, mazhab, dan agama yang lain, menandai absennya Tuhan dalam kehidupan keberagamaan. Tuhan tidak hadir dalam realitas dan pengalaman keberagamaan sehari-hari.

Tuhan hanya sebatas dipuja. Disembah. Ia hadir hanya pada ibadah-ibadah ritual. Ia tidak memanifestasi dalam kehidupan sosial yang nyata. Dengan kata lain, Tuhan tidak menjadi “alat legitimasi” bagi pembentukan kehidupan sosial yang baik. Tuhan menjadi “pusat kesadaran” hanya sebatas pada ibadah-ibadah ritual, tetapi tidak pada ibadah sosial. Tuhan menjadi berdimensi personal-vertikal semata, tidak horisontal-kemanusiaan.

Pun demikian, kasih sayang Tuhan tidak menjadi wajah utama agama. Ia tertutup oleh wajah lain: kebengisan dan permusuhan. Padahal inilah yang pokok dari kehidupan. Bagaimanakah kita hendak mengidealisasi kehidupan yang tegak di atas kebencian dan kekerasan?

Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk mengembalikan agama sebagaimana spirit kehadirannya, yakni: “rahmat bagi alam semesta”, kecuali menghadirkan kembali Tuhan; menghadirkan kembali kasih-Nya, pada agama-agama. Paradigma agama dalam frame logika kekerasan harus diakhiri. Sebab, paradigma demikian amat timpang. Agama, di tangan paradigma demikian menjadi tuna makna. Ia tak patut dianut. Apalagi dijalankan.

Agama mutlak kembali kepada fungsi dasarnya. Agama mutlak menjadi perekat bagi kedamaian; menjadi jalan bagi rahmat dan kasih-Nya. Hanya dengan cara itu, kita berarti (telah) menghadirkan kembali Tuhan pada agama-agama. 

(16 Desember 2018)

0 Viewers