Pernahkah kita membayangkan bila nama; identitas diri kita, yang kita bawa dari lahir, kelak menjadi malapetaka buat kita?

Adalah Sobron Aidit. Tahun 1952, bertempat di Jalan Kramat Raya 81, dipanggil abangnya: D.N. Aidit. Tokoh sentral PKI yang menyejarah itu. Oleh abangnya, ia diminta untuk melepas nama belakangnya. Marganya. D.N. Aidit khawatir, aktivitas politiknya—yang tak bisa ditebak arah maupun endingnya—bisa berpengaruh terhadap hidup dan masa depan adiknya itu. Peristiwa itu terjadi, jauh sebelum meletus G30S/PKI.

Kelak, peristiwa itu dituturkan oleh Sobron dalam bukunya, “Buku yang Dipenjarakan: Memoar Orang Terbuang” terbitan Best Publisher, Tahun 2018. Buku yang merekam pergolakan batin Sobron sebagai “orang yang diasingkan” itu; bagaimana kerinduannya akan tanah air; bagaimana perjumpaannya dengan sahabat-sahabat lamanya; seperti apa kehadirannya di Tanah Belitung (kampung kelahirannya), atau bagaimana derita yang ia hadapi sebagai akibat menyandang marga Aidit; banyak mencatat peristiwa-peristiwa penting, terutama dalam kaitannya sebagai adik D.N. Aidit.

Sobron Aidit itu sendiri, pasca insiden G30S/PKI, memang mengalami pergolakan hidup yang luar biasa. Sobron yang kala itu lagi berada di Beijing—menjadi Guru Besar Bahasa dan Sastra Indonesia di Institut Bahasa Asing Beijing—mendapat imbas buruk dari peristiwa G30S/PKI. Ia turut menjadi sasaran kemarahan rakyat Indonesia. Ia tak bisa pulang ke Indonesia. Bilapun nekat, sudah bisa mahfum apa yang akan diterimanya.

Di luar negeri, nasibnya pun tak bisa dijamin. Tak pasti. Pihak militer memburu mereka. Semua anasir PKI (atau yang distempeli PKI) beserta keluarga dan anak keturunannya menjadi ‘target’ dari apa yang disebut sebagai pembersihan sisa-sisa PKI. Ini dialami Sobron selama bertahun-tahun.

Tahun 1981, ia pindah ke Paris. Dalam salah satu versi sejarah disebutkan, Sobron akhirnya harus pindah dari Cina akibat desakan dari pemerintah Indonesia. Cina bagaimanapun menganggap Indonesia adalah mitra kerjasama yang strategis. Oleh karena itu, mereka secara pelan-pelan berupaya untuk memperbaiki hubungan diplomatiknya dengan Indonesia, setelah sempat putus pada tahun 1967—dua tahun sesudah G30S/PKI. Sementara di sisi lain, sejak berkuasa, Soeharto gencar memengaruhi mereka agar mengusir semua anasir PKI yang bermukim di negaranya.

Upaya Soeharto terbukti berhasil. Kontrak kerja Sobron diputus tiba-tiba. Alasannya tidak ada. Oleh para sahabatnya Sobron disarankan untuk pindah. Beberapa negara ditawarkan, namun kemudian Sobron memilih Perancis. Kelak, hingga akhir hayatnya, Sobron—juga anak keturunannya kini—memilih untuk tetap tinggal dan berkewarganegaraan Perancis.

***
Sobron, dan siapapun juga, tak pernah menduga bahwa insiden G30S/PKI akan terjadi, dan menimbulkan dampak yang sangat luas. Tidak saja bagi korban, semisal anak keturunan tujuh orang jenderal yang diculik pada peristiwa itu. Tetapi juga bagi keluarga pelaku. Pun anggota dan simpatisan PKI di seluruh Indonesia. Tidak kurang dari 2 juta orang yang disiksa, dipenjara, dan dieksekusi mati. Demikian catatan para aktivis HAM.

Lantas apakah Sobron menyesal karena mengabaikan saran abangnya? Sama sekali tidak. Bang Amat—demikian ia sehari-hari menyebut abangnya—bagaimanapun adalah kakaknya. Ia tak mungkin menampiknya. Marga Aidit tak mungkin ia lepas. Marga itu telah melekat padanya, bahkan sejak ia masih kecil.

Lebih dari itu, baginya itu adalah konsekuensi ideologis. Bahwa jika ia harus menerima akibat dari G30S/PKI, itu dihadapinya dengan sadar. Tak boleh ada kata menyesal. Maka ketika penderitaan dan kesusahan datang menghampirinya di “tanah pengasingan” cepat-cepat ia tepis. Di Cina ia pernah berkebun. Sementara di Paris, dengan dibantu (patungan) teman-teman sesama aktivis PKI, ia kemudian mendirikan restoran. Namanya restoran “Indonesia.”

Kata Sobron, itulah cara merawat ingatan akan tanah air. Indonesia. Sebab, dari semua penderitaan yang ia alami di “tanah pengasingan,” satu-satunya hal yang susah ia bendung adalah: gelombang kerinduan untuk pulang.

(22 Oktober 2018)

0 Viewers