Adakah bencana, selalu berarti luka, derita, dan kehancuran?

Sehari (29/09/2018) setelah gempa yang menghantam Palu, Sigi dan Donggala, saya telah berada di Palu. Sebelumnya, saya lagi mengurusi pekerjaan di Buol, sekitar 560 KM dari Palu. Guncangan akibat gempa juga terasa di Buol, dan bahkan beberapa wilayah yang lebih jauh lagi, seperti Mamasa di Sulawesi Barat.

Setibanya di Palu--setelah sempat terhalang longsoran material (bebatuan) di Kebun Kopi sekitar 6 jam--saya menyaksikan bagaimana sisa-sisa gempa yang disertai tsunami itu, menyapu bersih pantai di sepanjang Teluk Palu. Juga berbagai titik di dalam kota. Reruntuhan bangunan, kendaraan, kapal, dan manusia (yang diterjang tsunami) bertebaran dimana-mana.
 
Suasana mencekam pun menjadi begitu nyata. Dalam sehari, bisa berkali-kali gempa mengguncang (kembali) Palu. Guncangan ini memperpanjang rasa takut warga. Bila malam, suasananya lebih menakutkan lagi. Tak ada penerangan, ditambah akses komunikasi yang terbatas. Dalam suasana gelap gulita inilah saban malam warga memahat asa: Bisakah esok musibah ini usai, dan semua kembali memulai kehidupan yang baru? Hidup yang terbebas dari rasa takut dan trauma (yang dalam).

Di tenda pengungsian, saya mendapati istri dan anak-anak saya menjalani hidup yang "tak biasa". Tentu sebelumnya, dengan cerita perjuangan untuk menyelamatkan diri, yang sangat dramatis. Ketika gempa, anak saya yang kedua: Allamah Tsany Tabathaba'i berada di dalam rumah. Ia kesulitan untuk keluar rumah karena kuatnya guncangan. Setelah itu, ia pun terpisah dengan ibu dan kakaknya. Selama satu malam, ia berada di tempat pengungsian yang berbeda. Tak makan. Juga tidur tak beralas apapun. Hal yang juga "berlaku" pada istri dan anak pertama saya.

Minggu (30/09/2018) ketika istri saya memutuskan untuk kembali ke rumah dan bergabung dengan tetangga yang memilih mengungsi di lapangan dekat rumah, kehidupan "tak biasa" itu dilanjutkan. Makan terbatas. Sebab, stok beras tak ada. Lauk pun tak lebih dari indomie. Air minum juga susah. Dan jangan berpikir untuk bisa mandi selama beberapa hari. Tak ada air.

Kehidupan seperti berhenti. Hari-hari di tenda pengungsian adalah hari-hari tanpa pengharapan. Masa depan yang paling jauh adalah hari ini. Hidup hari ini. Siapapun tak pernah bisa meyakini: Apakah dengan intensitas gempa yang tak kunjung berhenti, ia masih beroleh umur hingga esok? Tak bisa dipastikan.

Bahan bakar susah. Butuh waktu berjam-jam dengan antrian yang mengular, untuk sekadar mendapatkan 1 liter bensin. ATM tak berfungsi. Jalan-jalan mengalami retak. Ada yang bisa dilewati kendaraan (yang paling aman dan memungkinkan adalah roda dua). Ada yang tidak. Dengan mata kepala sendiri, saya menyaksikan bagaimana Kota Palu melewati hari-harinya itu dengan pilu. 

Di jalanan, lalu lintas kendaraan berfokus pada: mencari sesedikit apapun sumber makanan yang bisa dipakai mengganjal perut, mengantri bahan bakar, dan atau mencari informasi soal keluarganya. Ada yang ketemu dalam posisi keluarganya masih hidup, tetapi tak sedikit pula yang telah meninggal. Atau paling tidak, mengalami luka. Dan patah. 

***
Apa sesungguhnya yang bisa kita rasai dari rangkaian musibah yang melanda Palu, Sigi, dan Donggala? Di tenda-tenda pengungsian, di makam-makam saudara kita yang menjadi korban, di jalanan, atau di tempat-tempat ibadah?

Di balik duka selalu terselip hikmah. Terbit ibrah. Pada sebuah derita hadir pembelajaran. Kebajikan. Tak ada duka yang hakiki. Pun demikian, tak ada penderitaan yang berkepanjangan. Semua pasti berakhir. Laiknya pada sebuah lagu, Chrisye menggumamkan: 

[kini semua bukan milikku
musim itu telah berlalu
matahari segera berganti
badai pasti berlalu]

Di hari-hari pasca gempa, saya merasakan, pada banyak hal Palu "berubah". Memang bencana telah menggores luka yang dalam, juga kehancuran. Tapi dari luka itulah mengalir empati, solidaritas, dan kerelawanan. Begitu luas.

Dari puing-puing reruntuhan, justru tegak kemanusiaan. Warga, dan relawan yang datang belakangan, bahu membahu melakukan evakuasi terhadap korban. Tanpa perlu tahu siapa korbannya. Ikatan keluarga tak ada. Semua itu digerakkan oleh dorongan kemanusiaan. Tak ada sekat. Pun tak memilah-milah. Semua melebur jadi satu. Menyelamatkan yang tersisa, dan menguburkan yang telah pergi.

Di tenda-tenda pengungsian mengalir deras empati dan solidaritas. Ada yang bertetangga, tetapi ada pula yang tidak. Ada yang kenal sebelumnya, ada pula yang tidak. Tetapi di tenda-tenda ini, kebersamaan dan persaudaraan menjadi begitu lekat. Warga menyatu. Membangun tenda, menyiapkan air bersih, memastikan logistik cukup, dan merakit penerangan seadanya.

Inilah yang terjadi di Palu di hari-hari pasca gempa. Besar harapan solidaritas ini; empati ini; kebersamaan ini, terus terjaga di Bumi Tadulako. Dan ke depan, menjadi modal untuk tiga daerah yang paling terdampak gempa itu, yakni Palu, Sigi, dan Donggala, untuk bangkit.

Palu Kuat!

(9 Oktober 2018)

0 Viewers