Hidupnya tak semenjulang karya-karyanya. Tubuhnya kecil, ringkih. Ia mati muda—27 tahun, karena dibekap penyakit kronis. Rumah tangganya pun tak boleh dibilang bahagia. Ia dicerai istrinya di usia pernikahan yang amat singkat. Separuh dari perjalanan takdirnya di dunia, ia jalani dalam gelap kemiskinan. Di penghujung hayatnya, ia bahkan hidup menggelandang dari satu tempat ke tempat yang lain.
Ia adalah Chairil Anwar.
Akhir 1948, malapetaka
itu datang: Hapsah Wiriaredja memacak perpisahan. Biduk rumah tangga yang baru
dikayuh selama lebih kurang 2 tahun harus bermuara tragika. Chairil terusir
dari rumah; tempat ia menjahit mimpi selama ini.
Adalah perihal ekonomi
yang menjadi pangkal perkara. Chairil dipandang tak cakap memenuhi pangan keluarga.
Hapsah, sosok wanita biasa yang tak paham puisi memberi garis: Mencari
pekerjaan tetap atau melarung hidup masing-masing. Chairil pun tak punya
pilihan. Kendati berkeyakinan bahwa kelak ia akan menjadi Menteri Kebudayaan,
tetapi kenyataan yang datang menamparnya tak dapat ia elakkan. Ia dibunuh oleh
hidup yang pasti.
Hidup adalah bait-bait kepedihan.
Babak paling menyedihkan
dari hidup Chairil terentang luas. Setelah terusir dari rumah Hapsah, Chairil
hidup tanpa arah. Kemudinya patah. Ia seolah kehilangan segalanya. Ia
pergi sebagai orang yang kalah. Ia seperti sajak yang ditulisnya: Hidup hanya menunda kekalahan/tambah
terasing dari cinta sekolah rendah/dan tahu, ada yang tetap tidak
diucapkan/sebelum pada akhirnya menyerah.
Hidup Chairil tak ubahnya
pengembara. Kemiskinan memang tak pernah baik. Bahkan kehadiran Evawani Alissa,
buah persetubuhannya dengan Hapsah pun tidak dapat menyelamatkan pernikahannya.
Dunia kepenyairan rapuh benar untuk dijadikan sebagai sandaran hidup.
Chairil, sebagaimana
beber Nasjah Djamin dalam Hari-Hari Akhir
Si Penyair (2013), sekali waktu pernah berkunjung ke gubuk pelukis Soedarso
di Pisangan Lama, Jatinegara, Jakarta Timur. Ia datang dengan membawa
buku-bukunya sebecak penuh. Ia mengulur pinta untuk menepi di situ semalam.
Lalu esoknya pergi lagi. Ia mencari tumpangan hidup di tempat lain.
Atau, bagaimana ia harus
membuang malu tatkala 'terpaksa' menemui H.B. Jassin. Perseteruannya dengan
Jassin pada Januari 1949 (sebulan setelah perceraiannya), akibat Jassin secara
gegabah menuduhnya melakukan plagiasi terhadap karya salah seorang penyair
Cina, Hsu Chih-Mo, membuat Chairil murka. Ia mendatangi Jassin dan mengajaknya
duel.
Tetapi rasa lapar yang
menyergapnya suatu ketika, memaksa ia mendatangi rumah Jassin. Kepada Jassin ia
meminta makan. Jassin memang menjadi tempat bergelayut Chairil bahkan sejak mula ia menaruh kaki di Jakarta.
"Maka pada suatu siang,
aku sudah berdiri di ambang pintu rumah Jassin.
Kau ingin membalas
tinjuku? Kata Jassin sambil mengepalkan tangannya.
Aku tersenyum geli dan menerobos
masuk ke rumahnya tanpa dipersilakan.
Aku
lapar, Sin…" (hal. 376)
Demikian Sergius Sutanto
dalam novel biografi Chairil Anwar, Ini
Kali Tak Ada yang Mencari Cinta, menggambarkan rasa getir akibat
sebenar-benarnya kemiskinan yang membelit Chairil. Sebuah siklus nasib yang
terus memagari Chairil hingga ajal datang merampasnya di sebuah sore yang sendu.
***
Datang ke Jakarta sebagai
perantau di usia 19 tahun, Chairil merintis karir menjadi penyair. Chairil
mengikuti langkah ibunya, Saleha, tak lama setelah ia berpisah dengan suaminya,
Toeloes Bin Manan. Rumah tangga ibu dan ayah Chairil tak bisa dipertahankan.
Watak keras kepala dan pertengkaran yang tak pernah usai menjadi pemicu
retaknya bangunan rumah tangga mereka.
Chairil dan ibunya memilih
merantau ke Jakarta sebagai upaya untuk menghilangkan ingatan tentang Toeloes. Medan,
kendati pun memberi kemewahan hidup yang tiada tara bagi mereka, tapi tidak dengan
Toeloes. Toeloes, bagi Chairil, bukanlah lelaki yang baik dan bertanggungjawab
terhadap keluarga. Oleh karena itu, sejak peristiwa retaknya rumah tangga orang
tuanya itu, Chairil tak pernah lagi menaruh respek pada ayahnya.
Mula-mula karya Chairil
mendapatkan penolakan. Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dan sejumlah angkatan
Pujangga Baru yang memegang kendali media cetak kala itu mengganggap karya-karya
Chairil keluar dari langgam yang ada. Kita tahu persis, tahun-tahun itu, di
samping karya Chairil yang tampak berbeda, kontrol secara ketat dari penguasa
Jepang terhadap semua karya sastra menjadikan tidak mudah untuk bisa
dipublikasikan. Jepang mengatur sampai pada titik dasar: Diksi mana yang boleh
dan mana yang dilarang untuk digunakan.
Puisi-puisi Chairil
dipandang sangat individualistik. Ia menabrak norma dan tata krama dalam berbahasa.
Kosa katanya juga jalang. Tak memberi gambaran sebagai bangsa yang santun dalam
bertutur. Karya-karya Chairil dipandang berkebalikan dengan karya-karya penyair
Pujangga Baru yang lebih terstruktur dan teduh.
Tahun 1943, puisi Chairil
Aku akhirnya dimuat. Kendati harus berganti judul
menjadi Semangat agar bisa
diterbitkan, Chairil amat girang karenanya. Ia merasa kisah kepenyairannya
tengah dipahat. Menyusul pada hari-hari berikutnya, karya-karyanya mulai
dikenal dan menghiasi laman pelbagai media cetak. Chairil lantas menjelma
penyair yang kesohor; namanya riuh dipercakapkan, juga menjadi kontroversi.
Tetapi sebagaimana jalan
nasib kepenyairan, honorarium dari menulis puisi sungguh tak memadai untuk
menyokong hidup. Apa yang didapat hari ini hanya cukup dipakai beberapa saat
saja, untuk kemudian harus memeras otak lagi guna memenuhi kebutuhan di hari
esok. Ini bertahun-tahun dihela oleh Chairil—bahkan manakala gerbang pernikahan
terbuka untuknya. Chairil, praktis hidup dari belas kasih kawan-kawannya.
Sejatinya, Chairil pernah
mendapatkan pekerjaan tetap dari Bung Hatta. Saat itu, Hatta baru pulang dari
pengasingan di Banda Neira. Berbekal perkenalan sewaktu di Banda Neira, Des
Alwi yang sekamar dengan Chairil di mukim Sutan Sjahrir mengajaknya bersua Hatta.
Di rumah Hatta, Des Alwi memperkenalkan Chairil sembari mengajukan harap bila
saja ada pekerjaan yang bisa diberi untuk Chairil.
Hatta yang kagum dengan
kemampuan Chairil dalam menguasai sejumlah bahasa asing kemudian menawarkan
untuk menjadi penerjemah. Maka bekerjalah Chairil di sebuah kantor statistik. Gajinya
bahkan lebih dari cukup untuk mengongkosi kehidupan sehari-hari ia dan ibunya.
Sialnya, kebiasaan tak
mau dikekang Chairil membuatnya tak bertahan lama di kantor itu. Setelah tiga
bulan bekerja secara resmi ia mengundurkan diri. Chairil lebih suka hidup
mengelana. Ia menjadi manusia yang merdeka. Tidak mau dililit oleh aturan mana pun.
Bahkan kalau pun dari situ ia beroleh penghasilan.
***
Kamis, 28 April 1949, Chairil
menghembuskan napas terakhir. Ia mengakhiri hidupnya setelah berjuang melawan
penyakit kronis yang bersarang di tubuhnya selama bertahun-tahun. Ia tak dapat
menolak takdirnya.
Tim buku Tempo dalam Chairil Anwar: Bagimu Negeri Menyediakan Api,
menceritakan bagaimana penyair itu jelang detik-detik terakhir hidupnya:
Chairil Anwar sakit
parah. Darah mengalir dari mulut dan duburnya. Waktu itu Jumat, 22 April 1949,
ia dibawa ke rumah sakit Centrale
Burgerlijke Zienkenhuis (CBZ), sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
Jakarta Pusat. "Kami menggotongnya menggunakan selimut," kata Daoed Joesoef.
(hal. 118)
…Itu kedua kalinya
Chairil digotong ke CBZ. Nasjah Djamin [kawan Chairil yang lain] mengatakan
pada Kamis, 21 April 1949, pukul setengah sepuluh malam, ia membawa Chairil ke
CBZ menggunakan becak. Karena sudah malam, dokter tak bersedia mengobati
penyair muda itu dan meminta mereka kembali esok harinya.
Malam itu, di bawah
guyuran hujan serta angin kencang, dia [Nasjah Djamin] terpaksa membawa Chairil
pulang ke kos-kosannya. (hal. 119)
Kematian Chairil di usia
yang masih amat belia itu seakan menggenapi kekalahan demi kekalahan yang ia
alami dalam hidup. Ia telah merasakan berbagai macam kepahitan: terbuang dari kampung
halamannya, bagaimana kemiskinan mengoyak-ngoyak hidupnya (ditolak oleh
keluarga kekasih, hidup bergelantung pada kawan, diusir oleh satu-satunya
wanita yang mau menjadi sekutu hidupnya: Hapsah) hingga momen ia harus melepas
ibunya kembali ke Medan karena tak kuasa bertengger hidup di Jakarta.
"Belum pukul delapan
malam, tapi jam seperti bergerak begitu cepat. Cepat sekali dan sekarang sudah
menjangkau angka ke sepuluh. Betapa perpisahan sudah di depan mata. Di meja
makan, kami duduk berhadapan. Ibu menggenggam tanganku erat. Aku malu sebenarnya
karena tak bisa bersedih-sedih macam orang sedang main sandiwara saja. Tapi
kubiarkan hangat tangan Ibu menjalari jemariku karena mungkin, lama lagi
kesempatan seperti ini akan datang.
Aku tertunduk, lalu
perlahan kuberanikan menatapnya. Sekarang baru kusadari betapa Ibu terlihat
jauh lebih tua dibandingkan saat pertama kami meninggalkan Medan. Wajahnya
kusam. Kerutan di dahi, lingkar mata, dan mulutnya seperti sederet belukar
halus. Dan beberapa kerutan itu, aku ikut menyuburkannya." (Sergius Sutanto: 2017)
Begitu Chairil menuturkan
getir perpisahan bersama ibunya. Juga tatkala Chairil lamat-lamat mendengar kabar
kematian neneknya yang telah banyak membantu menyapihnya, yang hanya bisa ia
ratapi dari jauh.
NISAN
Bukan kematian benar
menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima
segala tiba
Tak kutahu setinggi itu
di atas debu
Dan duka maha tuan
bertakhta
(Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang: 2015)
Chairil, dengan segala
kedigdayaannya di belantara puisi, pada akhirnya, tetap tak bisa menjadikannya itu
sebagai kain penutup bagi peluh yang menggores sepanjang usia. Pencapaiannya di bidang yang tidak mudah itu, tak
dapat mengakhiri deret penderitaan yang dialaminya. Hingga kemudian, ia harus menyerah.
Ia pergi dengan sembilu yang menancap.
Ia, tetaplah, Chairil yang malang.
(1 Mei 2025)
0 Viewers
0 Comments
Posting Komentar