Kalau ke Yogyakarta, apa yang Anda cari?

Akhir tahun 2024 kemarin, berkesempatan berkunjung ke Yogyakarta. Tujuannya menjenguk anak, Miftah Ali Muthahhari, yang lagi berkuliah di sana. 

Seingatku, sudah cukup lama tak berkunjung ke sana. Terakhir, kalau tidak salah, direntang tahun 2007-2009—ketika masih bergiat di PB HMI.

Sepintas tak banyak yang berubah dari kota ini. Yogyakarta sejak dulu tumbuh sebagai kota kebudayaan—arena di mana intelektualitas, pemikiran, ide, dibentangkan. Tetapi satu hal yang tak bisa dihindari, sebagaimana juga kota-kota lainnya di Indonesia, secara pelan-pelan gilasan modernitas tampak di mana-mana. 

Saya, yang telah sekian lama tak berkunjung ke Yogyakarta, tentu saja berharap bisa sesegera mungkin mendatangi lapak-lapak penjualan buku murah. Itu tujuan kedua, selain mengunjungi anak. Dalam ingatan saya bertahun-tahun, Yogyakarta adalah "surga" buku-buku murah. 

Berbekal informasi dari sejumlah kolega—termasuk dari salah satu senior di HMI, Mas M. Syifa Amin Widigdo, Ph.D. (kini dosen UMY), bergegaslah saya mendatangi lapak-lapak buku murah itu. Tampak buku-buku dijajakan. Harganya juga bervariasi. Yang paling murah adalah: Satu kantong plastik (yang itu bisa berisi 10 buku) dijual hanya dengan harga Rp. 50.000. Judulnya bebas, bisa dipilih sesuai dengan kebutuhan kita.

Satu hal yang membuat Yogyakarta terasa begitu istimewa adalah: Di tengah gempuran modernitas, ia tetap tegak sebagai kota dengan pertumbuhan industri buku yang tiada terkira. Dulu penerbit-penerbit buku hanya berputar pada sejumlah nama yang besar-besar saja, tetapi kini berkecambah penerbit-penerbit indie, yang itu bisa melayani proses penerbitan buku, bahkan, untuk dua-tiga eksemplar saja. 

Inilah, saya kira, yang menjadikan Yogyakarta—hingga saat ini—sebagai kota dengan iklim pendidikan terbaik di Indonesia. Tumbuh-pesatnya industri buku, yang itu tentu saja membuat akses terhadap bacaan bisa didapatkan dengan mudah, menjadi instrumen dasar yang memungkinkan bangunan pendidikan bisa didirikan dengan baik.

Dalam hati saya, betapa berbahagianya orang-orang yang digariskan hidup (atau memilih hidup) di Yogyakarta. 

Walau tentu saja, di era serba-online sekarang ini, kita yang tak tinggal di Yogyakarta tak perlu berkecil hati. Dalam perkara buku, misalnya, kita bisa memesan secara online. Tak perlu harus ke Yogyakarta lagi untuk sekadar berbelanja buku. Hari ini kita pesan, seminggu kemudian buku sudah bisa ada di tangan kita. 

Pergeseran tren jual beli barang dan jasa yang kini menjadi serba-online memang sedikit banyak memengaruhi pola penjualan buku. Pada saat mengunjungi lapak-lapak penjualan buku, tampak ada sejumlah pembeli yang lagi melihat dan memilih-milih buku, tapi itu tidak seramai dulu ketika buku masih dijual secara offline.

Buku kini bahkan sudah dijajakan dari rumah-rumah. Ada banyak penjual yang menyulap ruangan di rumahnya untuk menjadi lapak penjualan buku. Lalu lintas transaksi kini lebih banyak berseliweran di udara. 

Tak tampak lagi ada dialog antar penjual dan pembeli. Atau proses tawar menawar. Sesuatu yang saban hari kita lihat, ketika proses jual beli buku masih berlangsung secara offline. 

Juga orang-orang yang menenteng tas plastik berisi buku—mondar-mandir dari satu lapak ke lapak yang lain.

Ah, berbelanja buku kini tak seasyik dulu.

(3 Januari 2025)

0 Viewers