Kebencian selalu dikutuki sebagai gelap, tetapi kita, tak jarang pula, hendak mencari terang dalam gelap lakumembenci.

Beredar video pembakaran—yang dilanjutkan dengan perobekan—poster bergambar Habib Rizieq Shihab (HRS).

Jika ada yang membaca buku-tebal karya Karl R. Popper, Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya, kita akan menemukan betapa tindakan demikian adalah masalah besar bagi negeri ini. Masyarakat terbuka (open society) adalah masyarakat yang mengakui adanya pluralisme ide dan pilihan sikap (politik), dan mendudukkannya secara dewasa.

Masyarakat terbuka (open society) adalah lawan dari masyarakat tertutup (closed society). Bagi Popper, masyarakat tertutup adalah realitas masyarakat yang hidup dalam penunggalan (homogenitas) cara pandang. Setiap klaim atas sebuah pengetahuan atau cara pandang, selalu tegak dalam asas totalitarianisme. Represi kebenaran, tanpa ada ikhtiar untuk melakukan kritik.

Dalam banyak—atau bahkan keseluruhan—perkara saya berbeda cara pandang dengan HRS. Saya, mungkin saja, tak menemukan ada irisan cara pandang yang sama dengan HRS. Dengan kata lain, dalam hal pandangan keagamaan, HRS bukanlah imam saya.

Tetapi menista HRS dengan cara bar-barian, juga bukanlah tindakan yang terpuji. Sebaliknya, itu sangat menyakitkan. Apalagi bila dibumbui dengan kata-kata, “manusia di foto ini sampah.” Itu sungguh melukai hati umat Islam. Rasa-rasanya amat berlebihan memperlakukan ulama—yang diimami oleh sebagian umat Islam—dengan cara demikian. Terlebih hanya karena dalih: berbeda pandangan dan sikap (politik).

Dalam konteks yang lebih sublim saja, semisal cara pandang keagamaan atau ideologi, ragam perbedaan mutlak disikapi dengan bijak. Setiap cara pandang harus senantiasa diberi ruang untuk bertumbuh. Sebab, dengan cara itu kita bisa melakukan falsifikasi terhadapnya. Falsifikasi diperlukan agar cara pandang yang, mungkin saja, dianggap benar tak membatu. Dan sebaliknya, ia akan terus memperbaiki-diri. Cara pandang yang tidak terfalsifikasi adalah cara pandang yang tak akan pernah menemui jalan kebenarannya. Itu kata Popper.

Oleh karena itu, bila pun ada aksi yang berkait dengan perbedaan pandangan keagamaan, maka menolak ‘khilafahisme’—dalam pengertian semua varian pandangan yang bersepakat dengan urgensi negara/kepemimpinan agama—dengan cara yang ditunjukkan itu, juga adalah bentuk totalitarianisme baru. Menolak totalitarianisme ide agama dengan mempraktekkan totalitarianisme atas nama bangsa dan negara.

Menjijikkan!

Membayangkan ‘wajah-wajah tanpa wudu’—seperti tampak pada pimpinan aksi itu—menyaksikan kebengisan orang-orang seperti ia bila diberi sedikit kekuasaan. Ia tak saja memusuhi agama, tetapi bahkan akan menjauhkan agama dari masyarakat. Ia akan membunuh agama.

Ideologi orang-orang seperti ini jelas: nasionalis-sekuler. Sialnya, ekstrimis pula. Atau tepatnya: nasionalis anti-agama. Meyakini bahwa Indonesia yang plural hanya bisa dilanjutkan dengan menyingkirkan agama dari kehidupan publik. Meyakini bahwa bangsa Indonesia hanya bisa tegak-maju tanpa agama.

Padahal, agama sebagai sehimpunan petunjuk bagi umatnya, telah ada dalam “denyut nadi” kehidupan bangsa berpuluh-puluh—atau bahkan beratus-ratus—tahun lamanya. Usianya jauh lebih tua dari republik ini. Dalam catatan sejarah, agama (dan para tokoh agama) tak saja menjadi fondasi tegaknya negara-bangsa, yang memiliki andil yang tak sedikit dalam perang melawan kolonialisme, tetapi juga dibutuhkan oleh negara-bangsa dalam konteks menata kehidupannya di masa yang akan datang.

Taman negara-bangsa ini tak akan pernah terberkati tanpa ada kembang bernama agama tumbuh di dalamnya.

Sehingga, setiap agenda penyingkiran (privatisasi) agama dari ruang-ruang publik juga tak boleh kita perkenankan hadir. Agama, tak terelakkan, adalah bagian dari kenyataan yang sah dari sejarah panjang perjalanan bangsa ini. Agama mutlak dideprivatisasi. Ia wajib hidup di republik ini. Walau tentu saja, tak berarti bahwa saya setuju dengan ide formalisasi agama dalam kehidupan bernegara-bangsa.

Saya menyetujuinya, sejauh ia—sebagaimana yang dinyatakan oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur)—didudukkan secara proporsional. Ia disekularisasi. Agama diletakkan secara tepat (substansialisasi agama). Mana perkara yang harus kita urusi dengan agama. Dan mana yang kita urusi tidak dengan pendekatan agama. Sesuatu yang tentu saja berbeda dengan ide sekularisme Barat, yang boleh jadi, bersemayam di kepala para pelaku aksi itu.

Jadi, di satu sisi, kita menolak formalisme agama dalam sendi-sendi kehidupan bernegara-bangsa, tetapi di sisi lain, juga harus melihat bahwa penolakan terhadap agama dalam kehidupan bernegara-bangsa adalah sebuah kejahatan. Sikap inilah yang kemudian saya rumuskan sebagai moderatisme dalam bernegara-bangsa.

Kita tentu tak menginginkan apa saja yang berbau ekstrimisme (agama). Tetapi tidak meresponnya dengan cara sebagaimana ini. Ia mutlak dilakukan dengan penuh kearifan, mengedepankan prinsip dialogis dan humanitas, serta bertumpu pada penghormatan atas keberbedaan (pluralitas). Terlebih jika dilakukan dengan cara bar-barian seperti itu.

Moderatisme bernegara-bangsa adalah sikap menghargai ragam perbedaan cara pandang sebagai bagian yang tak terhindarkan dari masyarakat yang majemuk seperti Indonesia ini. Moderatisme bernegara-bangsa, juga berarti, kebersediaan untuk menerima ‘yang lain’ (the other) sebagai bagian yang utuh dan sederajat dengan entitas manapun di negeri ini.

Moderatisme bernegara-bangsa, berarti, adalah tindak-meletakkan penghargaan terhadap pluralisme di atas segala-galanya. Moderatisme bernegara-bangsa, berarti, adalah pembelaan terhadap pluralisme sebagai nilai-bersama yang patut untuk dijaga dan dilestarikan. Moderatisme bernegara-bangsa, berarti, adalah pembelaan terhadap pluralisme dari ancaman segala bentuk totalitarianisme. Apapun itu. Entah itu berbaju agama atau berbaju negara-bangsa (nasionalisme sekuler).

Dan, dalam kasus HRS, moderatisme bernegara-bangsa, berarti adalah kebersediaan untuk membela HRS dari tindak-menista para pelaku aksi itu.

(foto:www.suara.com)

(02 Agustus 2020)

0 Viewers