Dengan cara apa kita hendak dikenang?
Tanggal 23 April 2020, Hari Buku Sedunia kali ini, ditandai dengan berpulangnya salah seorang penulis-cum-aktivis: Arief Budiman.
Sebagai seorang aktivis, Arief Budiman dikenal sebagai sosok yang tetap konsisten hingga akhir hayatnya. Dulu, Arief Budiman adalah bagian dari Angkatan 1966 yang berperan penting dalam penggulingan rezim Orde Lama, Soekarno.
Tetapi, kendati ia memiliki andil dalam penggulingan itu, ia tidak serta merta tergiur untuk mencicipi kue kekuasaan Orde Baru yang mereka dirikan—sebagaimana banyak kawan-kawannya yang lain. Ia tetap memilih jalan sunyi kritisisme.
Malah, tahun 1973, dalam kemuakan yang temaram, ia—bersama kawan aktivis yang lain—mencetus apa yang kemudian dikenal sebagai “golongan putih (golput)”. Golput adalah gerakan sekaligus pernyataan keberatan atas terbitnya kebijakan melakukan fusi partai-partai politik yang ada.
Bagi Arief Budiman dan kawan-kawan, kebijakan itu mengarah kuat pada: penunggalan Golkar sebagai satu-satunya partai politik yang didukung oleh rezim Orde Baru, dan sinyal betapa masih kuatnya keinginan Golkar untuk tetap berkuasa-kembali pada pemilu berikutnya (tahun 1977). Sejumlah keberatan itu, ditambah penggunaan cara-cara yang tak benar dalam upaya memenangkan pemilu, oleh Arief Budiman dan kawan-kawan, dipandang berseberangan dengan semangat dan prinsip-prinsip dasar demokrasi yang baru dibangun.
Demokrasi, idealnya, kata Arief Budiman, harus dikembalikan sebagai saluran sadar bagi warga untuk menentukan hak politiknya.
Sebagai penulis, Arief Budiman dikenal sebagai sosok yang serius dan cukup produktif. Buku dan tulisan-tulisannya yang bersebaran dimana-mana sebagian besar berfokus pada isu-isu ekonomi dan kebijakan politik. Mungkin Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan (1976), adalah satu-satunya buku yang ditulis Arief Budiman tentang dunia sastra.
Tahun 2002 saya menemukan buku Arief Budiman. Buku itu berjudul, Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Bagi saya, mahasiswa asal kampung yang baru menjejak kaki di dunia akitivis, buku itu langsung menyengat saya. Paparan Arief Budiman di buku itu memberi petunjuk pada saya untuk memahami apa yang disebut sebagai pembangunanisme. Teori, ideologi, dan praktek pembangunan—terutama di dunia ketiga—dibeber secara komprehensif oleh Arief Budiman.
Salah satu yang mencubit perhatian saya di buku itu adalah tesis Arief Budiman tentang kretinisme. Kretinisme—yang mulanya diambil dari istilah kedokteran—adalah situasi dan cara pandang yang dipakai Arief Budiman untuk meneropong hubungan antara negara-negara di dunia ketiga dengan kapitalisme. Ideologi yang kala itu, juga mulai menyerbu Indonesia. Kretinisme, kata Arief Budiman, menyebabkan negara-negara yang dihinggapi oleh penyakit itu tetap kerdil dan tak bisa besar (baca hal. 57).
Berbekal paparan Arief Budiman di buku itu, saya kemudian berkesimpulan bahwa: Kapitalisme harus dilawan! Kapitalisme tidak saja jahat, tapi juga membunuh. Sesuatu yang terus saya yakini hingga kini. Walau, tentu saja, tak sehitam-putih dulu.
Tetapi, jika dibandingkan dengan Soe Hok Gie (adik kandungnya), Arief Budiman memang kalah tenar. Terutama bagi generasi 4.0 sekarang, yang menjumpai Gie sebatas dari film tentangnya saja—bukan dari gagasan-gagasan atau tulisan-tulisannya. Ini boleh jadi karena, pertama, tulisan-tulisan Arief Budiman cenderung teoritis dan dingin. Berkebalikan dengan tulisan-tulisan Gie yang meledak-ledak, provokatif, lugas, dan menyerang.
Kedua, Gie meninggal di usia yang amat belia: 27 tahun. Sementara Arief Budiman diberi usia yang cukup lama: 79 Tahun. Ini memungkinkan publik hanya sempat menangkap fragmen kehidupan Gie di saat kritis-kritisnya (saja). Sesuatu yang lebih mewakili jiwa dan spirit pemberontakan anak-anak muda—sebagaimana dulu Ahmad Wahib, aktivis-cum-penulis, yang juga senasib dengan Gie: mati muda. Wahib banyak digandrungi karena refleksi-refleksinya yang kritis. Gie, dalam konteks ini, tidak sempat mengalami masa pendewasaan intelektual, yang memungkinkan ia bisa lebih ‘teduh’ dalam menyikapi situasi sosial politik yang ada.
***
Hari ini, Arief Budiman (bagaimanapun) telah pergi. Ia telah menyusul adiknya ke haribaan Ilahi. Tetapi satu hal yang tetap terkenang darinya adalah: intelektualisme menggebu-gebu yang selalu menyeruak dari tulisan-tulisannya. Ia meninggalkan satu warisan penting bagi kita yang masih melata ini, yakni gagasan.
Memang, Arief Budiman, boleh jadi, tak selalu sejalan dengan Gie. Juga kita. Bahkan, sebagaimana ditutur dalam Soe Hok Gie…Sekali Lagi (2009), tidak jarang Arief Budiman berbeda pendapat dengan Gie dalam menyikapi sesuatu. Tetapi yang khas dari Arief Budiman—sebagaimana juga Gie—adalah: keuletannya dalam mendaraskan pikiran-pikirannya menjadi sebuah tulisan.
Sosok Arief Budiman, seiring berjalannya waktu, bisa saja dilupakan orang. Tetapi, tentu saja, tidak dengan tulisan-tulisannya. Tulisan-tulisannya akan selalu abadi. Ia akan selalu tegak dalam monumen pikiran orang-orang yang hidup. Tulisan, sebagaimana sejatinya, akan senantiasa dirindukan orang. Akan ada lapis generasi yang selalu datang mengintimi tulisan-tulisan Arief Budiman—seintim-intimnya.
Jika hari ini belum, mungkin esok.
Selamat jalan, Bung Arief Budiman. Dengan tulisan-tulisanmu, engkau telah menunjukkan dengan cara apa kami harus mengenangmu.
(23 April 2020)
0 Viewers
0 Comments
Posting Komentar