Apakah yang sama dari: aktivisme dan seksualisme? Liar. Tapi (dua-duanya) sublim.

Aktivisme liar karena ia meniscyakan kemerdekaan di dalamnya. Tak ada aktivisme tanpa kemerdekaan. Dunia aktivisme adalah dunia tanpa batas. Satu-satunya yang mulia adalah kemerdekaan: kemerdekaan berpikir, kemerdekaan bersikap, dan kemerdekaan bertindak.
Dunia aktivisme adalah dunia yang tak pernah berakhir. Ia selalu merupakan proses perburuan. Penjelajahan. Bila ia berhenti pada satu titik, berarti berhenti ia sebagai aktivisme. Oleh karena itu, bagi aktivisme, tak pernah ada kemapanan. Tak pernah ada tatanan yang final. Lawan aktivisme ada kemapanan. Segala sesuatu yang difinalkan.

Aktivisme selalu liar.

Sementara, seksualisme mensyaratkan adanya kebinalan. Seksualisme, semakin binal semakin menggairahkan. Tak ada kegairahan tanpa kebinalan. Oleh karena itu, seksualisme selalu menolak formalisme. Kebakuan. Setiap pembakuan berarti erosi atas daya seksualisme. Atas kebinalan.

Model pembakuan—apapun namanya—adalah labirin kematian seksualisme. Entah itu bernama pernikahan. Monogami. Beda kelamin. Perempuan adalah pelayan (seksual) lelaki. Atau lainnya lagi. Seksualisme yang menggairahkan adalah seksualisme yang menolak semua itu. Seksualisme yang tak terbatasi.

Seksualisme yang menggairahkan adalah seksualisme yang bisa dilakukan tanpa harus menikah. Tanpa harus berkasih. Tanpa harus intim. Atau bisa pada laki orang. Pada istri orang. Pada pacar orang. Dengan kata lain, seksualisme yang bisa kita lakukan, bahkan kepada seseorang yang, kita, hanya tertarik secara seksual kepadanya.

Seksualisme yang menggairahkan adalah seksualisme yang bisa kita lakukan pada banyak lelaki. Pada banyak perempuan. Tanpa kita harus takut untuk jatuh cinta. Takut untuk terluka. Atau saling menyakiti. Seksualisme ini bisa dilakukan pada saat bersamaan dengan banyak lelaki. Pada banyak perempuan. Atau berlainan waktu. Satu demi satu.

Seksualisme yang menggairahkan adalah seksualisme yang bisa kita lakukan, bahkan pada sesama jenis. Tak peduli dengan norma. Budaya. Atau aturan agama. Sebab, seksualisme adalah ketertarikan. Juga tantangan. Setiap yang menarik (dan menantang) selalu merupakan sumber seksualisme yang meledak-ledak.

Seksualisme yang menggairahkan adalah seksualisme yang merupakan laku penjamahan perempuan atas lelaki. Pemuasan perempuan atas lelaki. Kanal birahi perempuan atas lelaki. Bukan melulu lelaki atas perempuan. Sebab, hanya dengan cara ini, perempuan bisa menghajar dinding-dinding dominasi patriarki. Termasuk dominasi dalam urusan seksual. Urusan ranjang. Bukankah penjamahan berarti adalah penaklukan?

Seksualisme yang menggairahkan adalah seksualisme yang liar. Seksualisme yang di dalamnya ada kebuasan, tapi juga kegetiran. Ada pengharapan, tapi juga nestapa. Ada keintiman tapi juga menganga keberjarakan. Ketidakpastian. Semua kabur. Batas antara semua itu begitu tipis. Tak dapat ditebak, apalagi dibersamai. Kadang nestapa hadir sebagai pengharapan. Tapi kadang pula pengharapan mewujud nestapa. Kadang keintiman dimaknai keberjarakan. Tetapi kadang keberjarakan justru adalah keintiman itu sendiri.

Begitulah seksualisme. Ke-liar-an itu. Bukankah ini hidup yang menggairahkan? Hidup yang dinamis? Hidup yang ambang antara manis dan pahit begitu dekat. Atau bahkan, kadang bercampur. Hidup yang unpredictable. Hidup yang meledak-ledak.

***
Novel dwilogi Saman & Larung yang tuntas saya sudahi hari ini, adalah novel tentang aktivisme. Dan seksualisme. Dua aktivitas yang mengandung unsur yang sama: ke-liar-an.

Sebagai dua aktivitas yang mengandung unsur yang sama, dua hal itu didedahkan oleh Ayu Utami—penulis novel ini, dengan begitu terang. Tak ada batas kesantunan. Juga idiom yang berjarak dengan obyek. Tak ada norma. Realitas disajikan sebagai realitas. Kevulgaran hadir sebagai kevulgaran. Tak ada yang ditutup-tutupi. Atau ditakuti.

Ayu Utami, bahkan tampak menikmati kevulgaran. Ia bermain-main dengannya. Atau memain-mainkannya. Ia mengekspor kevulgaran sebagai laku primitif manusia, yang tak akan pernah usai. Ia menghadirkan kevulgaran, seksualisme, sebagai sesuatu yang niscaya berkelindan dengan apapun dalam hidup ini. Tak ada kehidupan yang terbebas dari bayang seksualisme. Bahkan terhadap dunia aktivisme sekalipun. Dunia aktivisme, yang digambarkan sebagai dunia yang sublim, dunia yang penuh altruisme, dunia penghambaan kepada yang sosial, seksualisme tetap hadir sebagai sesuatu yang selalu bertaut dengannya.

Malah, Ayu Utami, pada novel ini, hendak menghadirkan seksualisme sebagai sesuatu yang dekat dengan dunia aktivisme. Sesuatu yang nyata kelindannya dengan dunia aktivisme. Sesuatu yang tidak saja mempertautkan tubuh dan kelamin; sebagai eros, tetapi juga sesuatu yang visioner. Sesuatu yang (bisa) dimuati oleh pikiran-pikiran sehat, asa, dan masa depan. Sesuatu yang juga di dalamnya ada gelora perjuangan.

Adalah Saman, tokoh utama dalam novel ini, mengalami transformasi hidup yang sangat drastis. Sejak menjadi pastor, yang memilih ditugaskan di Perabumulih, Saman kemudian terlibat dalam aksi pembelaan terhadap warga yang menjadi korban perusahaan. Korban kejahatan kapitalisme nasional yang disanggah oleh aparatus kekuasaan.

Dalam sebuah insiden yang menewaskan banyak warga, terbakarnya rumah-rumah mereka dan Upi—gadis yang mengalami kelainan, Saman—yang sebelumnya bernama asli Athanasius Wisanggeni (Wis)—kemudian menjadi buron pemerintah. Ia sempat ditahan; dipukuli, disetrum, dan ditelanjangi, hingga kemudian bisa meloloskan diri.

Dalam persembunyian, Saman kemudian ditakdirkan bertemu dengan Yasmin dan Cok. Dua teman sekolahnya. Yasmin adalah seorang lawyer, bersuamikan Lukas. Sementara Cok, adalah gadis binal, pernah tidur (atau meniduri) banyak lelaki, dan pengusaha perhotelan yang sukses. Yasmin dan Coklah yang mengatur pelarian Saman keluar negeri agar aman dari kejaran aparat.
 
Dalam proses pelarian itu pula, Yasmin tak sengaja tidur dengan Saman. Yasmin, memang, sejak bertemu-kembali dengan Saman, menjadi begitu tergila-gila padanya. Ia begitu berhasrat menjamah Saman. Juga menghidu keringatnya. Ada kebinalan yang ia temukan pada Saman. Ada kegairahan yang dinamis laiknya pada setiap aktivis, yang bisa ia cecap.

Saman adalah personifikasi lelaki yang didamba Yasmin. Saman adalah lambang lelaki penentang zaman. Dalam beberapa kali bersetubuh dengan Saman—ketika mereka kemudian bertemu di Amerika—Yasmin tidak saja menikmatinya. Ia bahkan mengalami semacam dejavu. Kelahiran kembali. Sesuatu yang telah lama raib pada diri suaminya. Bagi Yasmin, Lukas, suaminya, kini tak lagi menggairahkan. Kehidupannya begitu monoton. Ia takluk pada kekelaman rutinitas.

Sementara Laila, teman Yasmin dan Cok yang lainnya, yang sejak kecil menyukai Saman, akhirnya jatuh hati kepada Sihar. Lelaki beristri, yang bertemu dengannya pada suatu kesempatan ketika ia hendak memotret aktivitas pengeboran minyak di perusahaan Sihar bekerja.

Berkali-kali Laila bertemu Sihar, berkali-kali pula mereka telanjang, tetapi tak sekalipun Sihar mau memerawaninya. “Jangan kita lakukan ini, kamu masih perawan,” kata Sihar suatu ketika—saat Laila mendesaknya. Padahal Laila telah ikhlas. Ia tak menuntut banyak dari Sihar. Baginya, Sihar mau mencintainya saja telah lebih dari cukup.

Ketika Sihar kemudian memilih meninggalkan Laila di Amerika, untuk kemudian pulang ke Indonesia dengan istrinya, Laila mengalami guncangan yang dahsyat. Sebelumnya ia pergi ke Amerika karena menyusul Sihar. Ia berharap di Amerika, ia bisa memiliki waktu berdua dengan Sihar.

Di tengah cerita, Shakuntala, teman Laila, juga Yasmin dan Cok, seorang penari (telanjang) yang telah lama bermukim di Amerika, yang hadir menemani Laila; menenangkan Laila, justru kemudian terlibat persetubuhan sesama jenis dengan Laila. Shakuntala, tak kuasa untuk tak menjamah Laila, kala Laila dalam kesedihannya yang sangat, datang bersandar di pundaknya.

***
Novel Saman & Larung, lebih dari sekadar cerita tentang seksualisme dan aktivisme, adalah potret soal bagaimana kediktatoran Orde Baru. Novel ini, yang dilaunching pada 12 Mei 1998—tepat 10 hari jelang kejatuhan Soeharto—mengisahkan bagaimana nasib para aktivis pejuang demokrasi, yang sebagian besar beraliran kiri, mengalami penangkapan dan kesewenang-wenangan dari rezim.

Saman, dan kemudian belakangan Larung—entah itu mereka benar-benar ada atau fiktif—hanyalah bagian terkecil dari gerakan yang menginginkan penggulingan Soeharto. Pada novel ini, Ayu Utami, bahkan secara terang-terangan menyebut nama Budiman Sudjatmiko dan Dita Indah Sari. Tentu saja, kemunculan nama-nama, yang memang dalam catatan sejarah adalah pelaku gerakan perlawanan terhadap Soeharto, menambah kesan realis pada novel ini.

Dan, akhirnya, novel ini “wajib” dibaca, terutama kalangan aktivis. Tidak saja karena ia menawarkan kebaruan (kerangka analisis posmodernisme) dalam membaca budaya dan laku hubungan antara lelaki dan perempuan yang selama ini ditabukan, tetapi juga bagaimana sejarah dan kekuasaan itu dilanggengkan.

Sesuatu yang tak kalah penting untuk diketahui para aktivis di era kini.

(13 Mei 2019)
0 Viewers