Hati-hati! Membaca bisa membunuhmu
.

November 1327. Adalah biarawan William dan muridnya Adso, ketika berkunjung ke Biara Benediktin, menghadapi masalah yang pelik. Kedatangan mereka disambut oleh kematian. Tepatnya, kematian demi kematian. Bermula dari terbunuhnya Adelmo, seorang biarawan muda; iluminator, hingga berturut-turut kematian yang lain.

Rangkaian kematian demi kematian terus terjadi hingga kemudian William dan Adso menemukan kenyataan bahwa penyebabnya berasal dari sebuah buku. Di Aedeficium, bangunan sentral di biara itu, terdapat ruang perpustakaan yang menyimpan begitu banyak macam koleksi buku. Salah satunya adalah buku asli karya filsuf termasyhur, Aristoteles. William menduga buku inilah yang menjadi penyebab kematian satu per satu penghuni biara itu.

Adalah Jorge, penghuni tertua di biara itu, yang menaruh racun di buku karya Aristoteles. Tujuannya satu: agar keimanan (religiusme) para biarawan tidak tercemari oleh filsafat. Ajaran yang dituduh paganis dan jauh dari cahaya kebenaran Tuhan. Sesiapa saja yang membaca buku itu, pasti terbunuh karena racun yang ditaruhnya.

Di akhir kisah, ketika kejahatannya terkuak, di hadapan William dan Adso, Jorge malah memakan lembar demi lembar buku karya Aristoteles itu—yang tentu saja membuatnya menemui kematian—dan menyulut api yang kemudian menyebabkan terjadinya kebakaran hebat yang melumat seluruh isi perpustakaan. Perpustakaan, yang tidak lain adalah perpustakaan Kristen terbesar dan terlengkap kala itu.

***
Umberto Eco, yang menuliskan kisah di atas dalam novel-tebalnya yang apik “The Name of The Rose” sebenarnya hendak mendeskripsikan: bagaimana pengetahuan, sebagai pandu hidup dan instrumen pencapaian kebenaran, bisa menimbulkan ketakutan yang mendalam di kalangan kaum puritan. Kaum agamawan yang anti akal. Anti pengetahuan.

Di kalangan kaum agamawan, pengetahuan didakwa sebagai anti Tuhan. Ia dianggap bisa menyebabkan orang murtad. Pengetahuan tidak saja mengotori kesucian agama, tetapi juga sekaligus menjadikan seseorang jahat. Tersesat. Roh jahat dan tindak-tanduk buruk iblis bisa menjelma pada diri manusia, jika ia berpengetahuan.

Dalam konteks sosio-historis, cerita Eco sebenarnya hendak mengingatkan kepada kita: bahwa peristiwa seperti itu tidak hanya soal masa lalu, tapi juga bisa terjadi di masa kini dan berikutnya. Ia bisa datang menghantam berkali-kali. Berulang, dari masa ke masa.

Apa yang terjadi di Kediri baru-baru ini adalah potret nyata dari cerita Eco. Sekelompok aparat melakukan sweeping terhadap buku-buku kiri. Buku-buku yang dianggap membahayakan ideologi bangsa. Kehadiran buku-buku kiri, menurut mereka, adalah pertanda bangkitnya PKI—partai beraliran komunis yang terlarang itu.

Memang, ada dua anasir yang sangat berkepentingan terhadap penghilangan buku-buku kiri. Pertama, kaum agamawan puritan. Bagi kaum agamawan puritan, membaca adalah aktivitas terlarang. Tidak saja terhadap buku-buku kiri, tetapi bahkan untuk mempelajari filsafat Islam, logika, atau sains pun tak boleh. Yang pasti, semua ilmu yang tak berkorelasi langsung dengan agama adalah haram.

Gerakan puritanisme tegak di atas frame: bahwa penalaran, apa pun bentuknya, tak diperbolehkan. Agama bukan untuk dinalar tapi dijalankan. Dalam gerakan ini, tekstualisme mengambil bentuk yang paling ekstrim. Agama mutlak diperlakukan sebagaimana termaktub dalam teks. Dalam nash-nash yang ada. Tak ada ruang untuk melakukan pengayaan perspektif melalui tindakan penalaran.

Di banyak tempat, praktik puritanisme agama ini ditandai dengan pengharaman untuk membaca buku-buku tertentu. Tak boleh ada diskusi soal agama. Apalagi debat. Debat tak hanya merusak atmosfer beragama, tetapi juga mengeraskan hati. Setiap tindakan “mempertanyakan” apa-apa yang telah digariskan dalam agama adalah bentuk ketidakyakinan. Sehingga, tidak jarang, dalam kajian-kajian yang mereka lakukan, tak ada diskusi. Yang ada adalah ceramah monologis. Pun jika bertanya, hanya bisa dilakukan melalui secarik kertas.

Kebenaran disampaikan secara satu arah. Pun, ia tidak dipahami sebagai sebuah proses pencarian yang dinamis; terus menerus. Kebenaran bersifat given. Dan ukurannya adalah teks. Apa yang tertera dalam teks sudah itulah agama. Final. Makna agama tak ditempatkan sebagai sesuatu yang bersifat trans-historis. Atau meminjam istilah Erich Fromm: sebagai sesuatu yang menjadi (becoming). Nalar ditolak, dialektika dipasung.

Kedua, aparatus negara. Memang sejarah pernah menyuguhkan cerita buram soal komunisme. Adalah insiden Madiun 1948 dan 30 September 1965, sebagai peristiwa yang menandai rencana kudeta partai terlarang, PKI, kepada pemerintahan yang sah. Tetapi memperlakukan dua peristiwa itu sebagai dalih untuk melenyapkan buku; memberangus pemikiran kiri, adalah tindakan yang picik.

Nasionalisme tak bisa ditegakkan di atas mindset demikian. Setiap tindak pemberangusan terhadap pemikiran adalah wujud nyata nasionalisme sempit. Kita pernah mengalami masa dimana pemikiran “didisiplinkan”. Kuasa pengetahuan adalah kuasa politik. Pengetahuan dijalankan dan dikontrol ketat oleh satu pusat kekuasaan bernama Cendana.

Tetapi apakah itu semua lantas menghentikan komunisme? Menghentikan anak-anak muda dari menikmati revolusionerisme kiri? Atau sebaliknya, kemudian berbondong-bondong mengikuti Penataran P4 yang dijajakan dari tempat ke tempat, dari hari ke hari, dengan segala tetek-bengeknya yang membosankan itu?

Tahun 1996 Partai Rakyat Demokratik (PRD) berdiri. Partai yang dituduh sebagai metamorfosis dari rangkaian gerakan atau organisasi kiri sebelumnya di Indonesia itu, tepat berdiri di saat rezim Orde Baru tengah kuat-kuatnya. Bahkan, Budiman Sudjatmiko, pentolannya, ditangkap.

Tetapi itu terbukti tak menghentikan sama sekali diseminasi gagasan kiri. Gagasan-gagasan kiri terus meluas, terutama di kampus-kampus, dan kalangan anak muda. Sebelumnya, di tahun-tahun 1980-an, juga tumbuh gagasan-gagasan kiri. Penyebarannya terjadi melalui kelompok-kelompok diskusi yang berjamuran di kampus. Buku-buku kiri hadir; dikopi atau dipinjamkan, untuk kemudian dibaca para mahasiswa yang membutuhkannya. Diskusi-diskusi pemikiran kiri digiatkan. Semua itu berlangsung nyata, kendati dengan cara diam-diam.

***
Siapakah komunis hari ini? Atau siapakah yang benar-benar komunis hari ini? Pertanyaan yang sama, yang juga bisa diajukan, seperti: adakah Islam yang benar-benar genuine hari ini?

Hari-hari ini saya menyaksikan lahirnya generasi baru yang boleh dibilang kompleks. Tidak tunggal pemikirannya. Ada yang kemudian menyebutnya sebagai gejala posislamisme. Atau jika di kalangan kiri, disebut sebagai posmarxisme.

Saya tidak terlalu hirau dengan istilah itu di sini. Bukan ranahnya untuk memperdebatkan itu. Tetapi yang pasti, generasi baru ini, jika pemikirannya bercorak keislaman, ia tak bisa benar-benar disebut Islam. Ia salat; ia berpuasa; ia memahami Islam dengan baik. Tetapi di sisi lain, ia sangat kritis terhadap Islam. Atau memberi aksentuasi yang berbeda terhadap Islam. Warnanya bisa “merah” sebagaimana Ali Syariati dan Asghar Ali Engineer, atau bisa sangat modernis sebagaimana Fazlur Rahman. Juga bisa berwarna tradisionalis sebagaimana Mohammed Arkoun, M. Abid Al-Jabiri, dan lain sebagainya.

Mereka bisa melafalkan dengan baik isu-isu tentang demokrasi, HAM, dan kesetaraan gender. Mereka pun akrab dengan hermeneutika: metodologi tafsir yang banyak dikembangkan di Barat. Mereka juga lincah memainkan pisau dekonstruksi Jacques Derrida untuk membedah Islam. Di tangan mereka, Islam menjadi sangat kaya warna.

Untuk anak-anak kiri, saya kira, susah kita menemukan mana yang komunis. Setulen-tulennya komunis. Kita tahu, komunisme sebagai varian dari marxisme, berdiri di atas filsafat materialisme. Sementara materialisme, jika dilekatkan sebagai sebuah ideologi, jelas-jelas menafikan Tuhan. Mana ada orang yang menolak Tuhan tapi tetap salat? Di banyak kesempatan, saya menyaksikan banyak anak-anak kiri yang salat ketika azan memanggil.

Jadi saya meyakini, bagi generasi kini, marxisme (atau komunisme) tak lebih dari sekadar metodologi berpikir. Marxisme ditempatkan sebagai basis teoritik dan analisis sosial dalam menggelorakan praksis pembebasan. Ia sekadar “jalan” untuk mewujudkan cita keadilan. Cita yang juga sama disuarakan oleh agama-agama.

Saya sendiri mengoleksi banyak buku kiri. Ada ratusan judul yang berderet di lemari saya. Semua buku kiri yang disita di Kediri saya miliki. Apa karena itu, lantas saya bisa dituduh komunis? Atau menjadi komunis? Saya kira, tak boleh segegabah itu. Saya mengoleksinya karena meyakini bahwa aktivitas membaca adalah perintah pertama Tuhan kepada kita. Iqra, kata Tuhan kepada Nabi Saww.

Saya meyakini, bahwa aktivitas membaca adalah aktivitas yang mulia. Bahkan wajib. Tak ada jendela lain untuk (dapat) berpengetahuan selain dari membaca. Terhadap apa? Terhadap semua kitab pengetahuan. Apalagi hanya terhadap gagasan-gagasan atau buku kiri, tentu tak ada alasan untuk melarangnya.

Jadi, saya kira, dengan dalih apapun, aktivitas membaca tak boleh dilarang. Melarang orang membaca sama dengan melenyapkan kemerdekaan dia sebagai manusia yang diberi keleluasaan Tuhan untuk berpikir. Dan, lebih dari itu, tindakan demikian sangat berbahaya bagi masa depan: bangsa dan peradaban. Sebab, mana ada peradaban yang maju tanpa buku.

Melarang membaca buku hanya akan mengembalikan kita kepada masa lalu. Mengembalikan kita ke zaman dimana pikiran kita digenangi oleh kepicikan dan tindakan kita hanya layak kita sebut sebagai: tindakan purba.

(20 Januari 2019)

0 Viewers