‘Islam Saya’ adalah terminologi (sederhana) yang saya gunakan sebagai pembeda dengan ‘Islam Kita’. ‘Islam Saya’ adalah Islam yang merujuk kepada pemahaman atau tafsir saya secara personal terhadap Islam. Apa Islam bagi saya, bagaimana saya memahami Islam, dan bagaimana pula saya memperlakukan Islam di lapangan kehidupan sosial, adalah wilayah kajian ‘Islam Saya’. Sementara, ‘Islam Kita’ adalah Islam yang merujuk kepada pemahaman atau tafsir mayoritas pemeluk agama Islam terhadap Islam. Apa Islam bagi umat kebanyakan, bagaimana umat kebanyakan memahami Islam, dan bagaimana pula umat kebanyakan memperlakukan Islam di lapangan kehidupan sosial, adalah wilayah kajian ‘Islam Kita’.

‘Islam Saya’ adalah gejala personal. Tapi juga umum. ‘Islam Saya’, paling tidak, bisa digunakan sebagai keyword untuk menggambarkan gejala yang terjadi di kalangan menengah-intelektual Islam. Ia mewakili pemikiran, cara pandang, atau sikap keberagamaan kaum menengah-intelektual Islam. Tetapi, juga sekaligus menjadi pembeda—yang  menegaskan adanya perbedaan (gap) pemikiran, cara pandang, dan sikap keberagamaan yang tajam antara kaum menengah-intelektual Islam dengan umat kebanyakan. Dengan ‘Islam Kita’.

Kuntowijoyo dalam "Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental ( 2001)", menggambarkan adanya gejala yang terjadi di kalangan menengah-intelektual Islam ini. Dengan sangat menarik ia menulis, “Generasi baru Muslim telah lahir dari rahim sejarah, tanpa kehadiran sang ayah, tidak ditunggui saudara-saudaranya. Kelahirannya bahkan tidak terdengar oleh Muslim yang lainnya.”

Identifikasi gejala, yang oleh Kuntowijoyo disebut sebagai Muslim Tanpa Masjid ini, adalah berdasar pada adanya kenyataan bahwa: terutama di kampus-kampus, telah lahir generasi Islam yang memiliki perspektif yang lebih kaya, progresif dan berorientasi sosial terhadap Islam. Islam sebagaimana kebanyakan; dipahami sebatas sebagai ibadah ritual, yang mengatur pemujaan manusia kepada Tuhan dalam relasi kehambaan, tidak mendapat ruang dalam cara pandang dan kesadaran mereka.

Generasi baru muslim ini tidak memahami Islam secara konvensional. Mereka juga tidak memperlakukan Islam sebagai “benda suci” yang tabu dari kritik, tafsir baru, atau bahkan gugatan. Di tangan mereka Islam menjadi lebih berwarna. Ada kebaruan, optimisme, dan progresivitas, yang dapat ditemukan pada cara mereka menafsir dan memperlakukan Islam.

Tetapi, yang menarik dari generasi baru ini adalah: mereka tidak lahir dari pesantren atau lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam. Sehingga, boleh jadi, sebagaimana kritik sebagian orang, mereka tidak layak menafsir Islam. Atau mengutak-atik ajaran Islam sekehendak mereka, mengingat terbatasnya pengetahuan mereka terhadap ilmu-ilmu alat (dan primer) dalam Islam.

Generasi ini adalah generasi yang lahir karena adanya semangat untuk mempelajari Islam. Latar belakang pendidikannya pun sebagian besar berasal dari sekolah-sekolah atau perguruan tinggi umum. Bukan agama. Mereka belajar Islam, sebagaimana tegas Kuntowijoyo, “tidak dari lembaga-lembaga Islam konvensional, seperti masjid, pesantren, dan madrasah, atau dari perorangan, seperti kiai, ustaz, ulama, dan dai. Mereka mendapatkannya dari sumber-sumber yang anonim, seperti kaset, CD, CVD, internet, radio, dan televisi. Buku-buku, majalah-majalah, dan brosur keagamaan juga didapat dari sumber anonim, seperti penerbit, kursus-kursus tertulis, seminar, dan ceramah.”

Dari buku-buku mereka berkenalan dengan banyak pemikir. Dengan banyak pemikiran. Dalam khazanah Islam, mereka berkenalan dengan Ali Syariati, Murtadha Muthahhari, Mohammad Iqbal, Shadru al-Din al-Syirazi (Mulla Sadra), Mohammed Arkoun, Hassan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Moh. Iqbal, Mohammad Abid al-Jabiri, dan lain-lain. Di dunia Barat, mereka mengunyah Socrates, Plato, Aristoteles, G.W.F Hegel, Rene Descartes, Karl Marx, Antonio Gramsci, Jacques Derrida, Michel Foucault, Jurgen Habermas, Pieere Bourdieu, dan lain sebagainya. Di dalam negeri, mereka mengeja gagasan-gagasan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir, D.N. Aidit, Mohammad Natsir, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka), Jalaluddin Rakhmat, Ahmad Wahib, Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, Ahmad Syafii Maarif, Goenawan Mohamad, dan lain sebagainya.

Spektrum pemikiran mereka dibentuk oleh bacaan terhadap buku-buku itu. Buku-buku yang tidak didapatkan—atau bahkan dilarang dipelajari—di lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam. Mereka mengonstruksi Islam dari “pengayaan” (juga sintesis) atas berbagai bacaan terhadap pemikiran tokoh-tokoh tersebut. Islam didapat melalui pergumulan panjang intelektual; melalui dialektika; melalui diskusi, debat, dan gugatan yang berdarah-darah. Tidak didedahkan secara turun-temurun dari guru-guru tradisional Islam, yang lazimnya menggunakan tradisi oral.

***

‘Islam Saya’ bukanlah sesuatu yang terpisah dari ‘Islam Kita’. Pula bukan antitesis terhadap ‘Islam Kita’. ‘Islam Saya’ hanyalah suatu ikhtiar yang menawarkan hadirnya kebaruan cara pandang terhadap Islam. Menawarkan tafsir yang lebih progresif terhadap Islam. Kehadiran ‘Islam Saya’ adalah untuk memperkaya warna Islam, bukan menegasi. Ibarat pelangi, ‘Islam Saya’ hendak menggenapi dengan salah satu warna pada warna-warna Islam lain yang sudah ada.

Di era mutakhir, gejala ‘Islam Saya’ banyak ditemukan pada anak-anak muda Islam. Para aktivis organisasi ekstra kampus. Entah itu, HMI, PMII, IMM atau kelompok-kelompok studi mahasiswa. Mereka belajar Islam tidak secara tradisional. Islam hanya didapat dari buku-buku, pelatihan, atau diskusi. Tetapi ada semangat untuk mempelajarinya secara baik. Islam di tangan mereka, tidak berhenti sebatas ritualisme, tetapi menjadi ideologi serta praksis pembelaan terhadap kaum papa. Pembelaan atas kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.

Pada cara pandang ini, pada ‘Islam Saya’ ini, sedikitnya, saya merasa cara pandang keislaman saya terwakili.     

(06 Desember 2018)

0 Viewers