Bulan ini adalah bulan duka. 10 Muharram 61 H (atau kurang lebih 14 abad yang lalu), Husein, cucu Nabi yang Suci terbunuh di Karbala. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan “Tragedi Karbala”. Dan hari terjadinya peristiwa itu disebut sebagai “Hari Asyura”.

Tragedi Karbala ini menandai babak baru dalam sejarah Islam. Ia membuka lembar-muram ‘wajah’ Islam. Ia menjadi tragedi kemanusiaan terbesar pertama dalam sejarah peradaban Islam, pasca wafatnya Nabi. Di tangan Yazid bin Muawiyah, ‘wajah’ Islam berubah menjadi merah. Penuh lumuran darah. Husein beserta 70 anak keturunan Nabi yang Suci lainnya, menemui ajal. Syahid.

***
Apa pentingnya memperingati Tragedi Karbala? Bagi Ali Syariati, Tragedi Karbala tidak sekadar peristiwa masa lampau. Ia tidak saja menjadi monumen peristiwa yang menandai terbunuhnya cucu Nabi; cucu kesayangannya; pemuda penghulu surga. Sebab, bahkan jika tidak menimpa keluarga Nabi sekalipun, kekejian itu tak boleh terjadi.

Tragedi Karbala mutlak menjadi kesadaran sejarah. Ia bukan hanya kepingan peristiwa masa lalu. Ia adalah kesadaran hari ini, dan esok. Spektrumnya melampaui masa lalu, kini dan esok; melintasi ruang dan waktu (time and space); menabrak tembok negara (state) dan wilayah (geografis). Ia bersifat universal.

Tragedi Karbala adalah alarm: bahwa pengangkangan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dengan dalih apapun, tak dibenarkan; bahwa kemanusiaan di atas segala-galanya–di atas suku, ras, dan bahkan agama; bahwa nilai-nilai kemanusiaan adalah azasi. Tak ada kehidupan tanpa kemanusiaan. Mengangkangi kemanusiaan berarti meruntuhkan kehidupan.

Lebih jauh, Ali Syariati, menunjuk Tragedi Karbala sebagai peristiwa yang menandai terbitnya perang antara Agama dan ‘Agama’. Agama yang asli (authentic religious)dengan agama yang palsu (pseudo religious). Agama massa dengan agama kekuasaan. Agama warisan Nabi dengan agama yang diperhamba oleh takhta.

Jadi, Tragedi Karbala tidak pure soal pembunuhan sekelompok umat Nabi terhadap anak keturunannya, tetapi lebih dari itu, ia adalah wujud dari sikap dan pelampiasan dendam penguasa kala itu (Yazid)–yang juga disanggah oleh kaum agamawan–atas ajaran yang diwartakan oleh Husein. Tragedi Karbala adalah persekongkolan penguasa, agamawan dan ‘tentara’ memberangus kebenaran. Dan itu laten.

Ali Syariati, dengan meminjam teori pertentangan kelas Marx, meyakinkan bahwa peperangan antara Agama dengan ‘Agama’ ini akan senantiasa terjadi sepanjang sejarah. Sampai kapanpun, yang namanya kebenaran akan senantiasa berhadap-hadapan dengan kebatilan. Bahwa yang namanya kebajikan akan senantiasa dihadang oleh kejahilan. Bahwa yang namanya kesejatian akan senantiasa dirusaki oleh kepalsuan.

***
Demikianlah hakikat sejarah Tragedi Karbala, kata Ali Syariati. Itulah makna memperingati Hari Asyura. Peringatan Hari Asyura tak bisa berhenti pada ritualitas belaka. Ritual tanpa makna adalah perayaan atas kebodohan. Ritual tanpa makna adalah perayaan atas romantisme masa lalu yang buta. Ritual tanpa makna adalah memperhamba peristiwa lampau.

Tugas suci Karbala ke depan, kata Ali Syariati, adalah: menjaga taman kebenaran agar tidak dirusaki oleh siapapun dan kekuasaan manapun, membentengi agama agar tidak dicemari oleh ‘agama’, menegakkan kemanusiaan di atas segala-galanya, dan lain sebagainya.

Itulah sejatinya yang harus dilakukan. Itulah satu-satunya cara merawat Tragedi Karbala sebagai kesadaran. Sebagai perilaku, kini dan esok.

(18 September 2018)

0 Viewers