Apalah yang bisa diharap dari seorang eks tahanan politik seperti Karman?

Demikianlah kira-kira Ahmad Tohari, memulai kisah dalam novel Kubah. Karman, tokoh sentral dalam novel tersebut, digambarkan mengalami pergolakan batin yang amat kencang selepas keluar dari tahanan. Karman ditahan selama 12 tahun karena divonis menjadi antek-antek PKI, dan menjadi sasaran dari apa yang, dulu, disebut sebagai 'pembasmian' sisa-sisa G 30 S/PKI.

Karman mendapati kenyataan bahwa: pertama, Marni; istri yang paling dicintainya itu kini telah bersuamikan orang lain. Dan bahkan dari pernikahan dengan suami barunya (Patra) itu, Marni telah beranak 2. Kabar pernikahan Marni memang telah lama didengar oleh Karman. Terhitung semenjak surat terakhir Marni--saat itu tahun kelima Karman menjalani masa tahanan--ia telah mengutarakan niat untuk menikah lagi. Himpitan ekonomi menjadi satu-satunya alasan yang diutarakan Marni dalam surat itu. Ia tak tahu harus bagaimana menghidupi ketiga anaknya dengan Karman lagi, terang Marni.

Lama Karman memikirkannya. Frustasi ia dibuatnya. "Bagaimana bisa, Marni, perempuan yang paling ia kasihi itu, kini berkhianat", batin Karman. Itu membelitnya selama dalam tahanan. Tetapi, adakah yang lebih sakit dari menemui kenyataan bahwa apa yang ia takutkan itu kini benar-benar terjadi?

Kedua, Tini, anak perempuan Karman, hendak dipersunting oleh Jabir. Pada dasarnya, bukan rencana pernikahan yang membuat ia gelisah. Siapa orang tua yang tidak senang bila anaknya dipersunting oleh orang yang 'berada'. Baik pula. Tetapi kenapa harus dengan Jabir. Itu yang menjadi pangkal keberatan Karman. Jabir adalah cucu Haji Bakir. Sosok yang selama ini paling ia musuhi di seantero Pegaten, kampung Karman.

Pasal ketidaksukaan Karman terhadap Haji Bakir, sebenarnya telah berlangsung lama. Jauh sebelum Karman masuk bui. Haji Bakir adalah perwujudan dari apa yang disebut dalam teori-teori pertentangan kelas--yang ia pelajari dari Margo dan Triman, dua tokoh penggerak PKI di kecamatannya--sebagai penghisap. Kapitalis. Haji Bakri mewakili kelas itu. Ia satu-satunya orang kaya di desa Karman yang menguasai berhektar-hektar tanah sawah. Sesuatu yang kontras dengan mayoritas penduduk Pegaten. 

Tidak terkecuali Karman. Karman menaruh sakit hati kepada Haji Bakir, sejak ia sadar--sekali lagi lewat indoktrinasi yang dilakukan Margo--bahwa proses barter satu setengah hektar tanah dengan beberapa kuintal beras, milik ayahnya (Pak Mantri) dulu, adalah sesuatu yang salah. Tidak peduli itu atas inisiatif ayahnya, dan juga karena menolong mereka.

Dendam itu semakin menggumpal tatkala Karman menginjak dewasa, ia menemui kenyataan yang tidak kalah menyakitkan. Lamarannya terhadap Sarifah, anak Haji Bakir; teman sepermainan Karman; gadis yang dulu pernah diselamatkan oleh Karman dari tandukkan kambing, ditolak mentah-mentah oleh Haji Bakir. Benih-benih ketidaksukaan Karman lambat laun membiak, mewujud amarah. Dan itu laten. 

Dalam novel ini, Ahmad Tohari, melalui teknik penceritaan yang menarik, menutur konflik batin yang melanda Karman itu. Bagaimana prosesi pertemuannya dengan Marni yang berlangsung dramatis. Memang Karman tidak punyak pilihan lain, kecuali kembali ke kampungnya, dan menetap bersama ibunya. Sehingga bertemu dengan Marni mustahil untuk dihindari.

Ahmad Tohari juga mengurai bagaimana kekagetan Karman setelah mengetahui bahwa Jabir, calon mantunya itu, ternyata adalah anak Sarifah. Juga bagaimana perjumpaannya dengan Haji Bakir di rumah ibunya, ketika temali cinta antara Tini dan Jabir harus dilanggengkan dalam sebuah ikrar-suci pernikahan. 

***
Semua mahfum, Ahmad Tohari adalah novelis handal. Ia adalah salah satu sastrawan besar yang pernah terlahir di bumi pertiwi ini. Ia tidak saja pandai mengolah kisah, tetapi juga memainkan emosi pembaca. Ceritanya sederhana, dengan latar yang sederhana pula. Bila kita membaca karya-karya Ahmad Tohari, semua berkisah hal-hal yang remeh-temeh, pinggiran (periferal), 'ndeso'; hal-hal yang acap luput dari perhatian atau tak terpikirkan (unthinkable) bagi kebanyakan orang.

Tetapi justru disitulah kekuatan Ahmad Tohari. Di tangan Ahmad Tohari cerita yang sederhana dengan latar yang sederhana, pinggiran dan 'ndeso' itu bisa dipilin menjadi bangunan kisah yang menarik. Dengan bernas, Ahmad Tohari memunculkan konflik, kecewa, luka, ketidaksetujuan, 'pemberontakan' di satu sisi, sembari di sisi lain, mengangkat nilai-nilai moral, kemanusiaan, keadilan dan kebenaran sebagai sesuatu yang harus dijaga.

Inilah warna dasar karya Ahmad Tohari. Dan uniknya, itu disampaikan dengan tutur yang jauh dari kesan menggurui. Melalui karakter tokoh-tokoh dan laku yang dihadirkan, semua orang menjadi mengerti apa itu moralitas (misalnya), dimana batasannya, dan apa tolak ukurnya, tanpa harus dijelaskan.

***
Novel kubah ini, sejauh yang saya tangkap, sebenarnya hendak memotret dua persoalan besar, yang mengemuka sejak munculnya paham komunisme--ini yang lebih familiar di masyarakat dibandingkan dengan Marxisme, Leninisme atau varian-varian Marxisme lainnya--di Indonesia hingga berakhirnya Orde Baru.

Pertama, tertolaknya ajaran komunisme secara kultural di masyarakat. Komunisme, apa pun itu, dipandang sama dengan ateisme. Masyarakat meyakini betul bahwa komunisme adalah ajaran anti-Tuhan. Pemahaman ini merata di masyarakat, terlebih di wilayah pedesaan. Mereka tak mengerti benar apa komunisme, yang mereka tahu adalah bahwa komunisme itu: tak percaya Tuhan, melarang orang untuk sembahyang, dan menghalalkan segala macam cara untuk mencapai tujuannya.

Lewat tokoh Karman, Ahmad Tohari, hendak mendeskripsikan bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh adanya pemahaman komunisme pada diri seseorang serta bagaimana respon masyarakat terhadapnya. Karman diceritakan beberapa kali melakukan 'pemberontakan', mulai dari merusak tempat wudu di mesjid, menggugat keimanan warga, hingga menyudahi ritual sembahyang yang telah ia lakoni sejak kecil. Sikap yang tidak disadari oleh Karman menjadi 'senjata' bagi Haji Bakir untuk menolak lamarannya. 

Kedua, rumitnya proses pembauran eks tahanan politik G 30 S/PKI dengan warga di dekade 60-an hingga 80-an. Memang tidak gampang menerima kelompok yang telah dengan tega melakukan pengkhianatan terhadap kekuasaan dan ideologi negara yang sah. Apalagi cerita soal G 30 S/PKI menyertakan "bau amis" kekerasan, pembunuhan, dan kesadisan di dalamnya. Jadilah kemarahan warga menemui puncaknya. 

Tetapi, bagaimanapun eks tahanan politik G 30 S/PKI adalah anak-anak bangsa, yang memiliki hak untuk hidup dan mendiami bumi Indonesia. Sehingga, proses rekonsiliasi dengan warga mau tak mau harus dilakukan. Negara berkewajiban untuk melindungi sekaligus memastikan bahwa mereka mendapat 'tempat' di masyarakat sekaligus terhindar dari tindakan semena-mena dan balas dendam.

Dalam novel Kubah ini, Ahmad Tohari menggambarkan bagaimana proses rekonsiliasi Karman dengan warga yang berlangsung sejuk, damai, dan tanpa riak. Warga Pegaten dapat menerima Karman dengan lapang dada. Tanpa dendam sedikitpun. Bahkan diujung cerita, Karman dituturkan menginsyafi segala perbuatannya. Ia tobat. Dan dalam satu kesempatan, ketika warga sedang melakukan rehab terhadap mesjid di desanya, Karman diserahi tanggungjawab untuk membuat Kubah.

(5 September 2018)

0 Viewers