Kepemimpinan
(leadership) tak pernah tetiba lahir. Ia selalu melalui proses yang panjang. Tak instan. Dinamika hidup seseorang, akan sangat mempengaruhi bagaimana kelak ia memimpin. Pun demikian, social background-nya, juga turul andil dalam membentuk karakter kepemimpinan seseorang. Seorang mantan aktivis, tentu akan mengelola negara/daerah/negeri seperti perspektif dia dalam memandang negara/daerah/negeri. Demikian pula, pengusaha, profesional, birokrat atau yang lainnya.

Yang jelas, gagasan menjadi utama bagi seorang pemimpin. Ia adalah fondasi kepemimpinan. Tak ada kepemimpinan tanpa gagasan. Sebab, pada wilayah inilah, sejatinya, harga diri kepemimpinan dipertaruhkan. Kepemimpinan menjadi tepat, bila paling minimal, bisa dipertanggungjawabkan secara konseptual. Bila tidak, non sense.

Naiknya Prof. Nurdin Abdullah (NA)--dan tentu saja di beberapa daerah lainnya--sebagai Gubernur Sulawesi Selatan menjadi indikasi kuat bangkitnya kepemimpinan gagasan. Dalam konteks demokrasi, ini menjadi pertanda mulai baiknya kultur demokrasi kita. Demokrasi, kata sebagian pengamat, mulai menyentuh apa yang sering kita sebut sebagai demokrasi-substantif.

Di daerah lain, gejala ini kita harapkan bisa berjalan massif. Kini dan esok. Kita berharap pendulum demokrasi kita tidak bergerak mundur. Tak ada tempat bagi kepemimpinan nir-gagasan. Kita tentu tak bisa membayangkan bagaimana suatu negara/daerah/negeri dikelola tanpa adanya gagasan. Barbarian jadinya pasti. Standarnya menjadi tidak ada. Yang berlaku adalah hukum: kawan atau lawan, kami atau kamu. Like and dislike. Gejala ini menjadi lebih parah lagi bila dibarengi dengan apa yang digumamkan Yasraf Amir Pilliang dengan politik teror, yakni: suatu kehidupan politik yang ditandai dengan munculnya mesin-mesin pencipta ketakutan politik yang melazimkan praktek-praktek intimidatif, teror, penunggalan (satu bendera), sebagai pola yang "absah" dan etis dilakukan.

(26 Juli 2018)

0 Viewers